REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konflik agraria yang terjadi di Indonesia dinilai erat kaitannya dengan perebutan sumber daya alam. Menurut Eko Cahyono dari Sajogyo Institute, konflik agraria selama ini terjadi di daerah-daerah yang memiliki kekayaan alam yang tinggi.
"Seluruh konflik agraria kronis berada di wilayah-wilayah yang memiliki sumber kekayaan sumberdaya alam tinggi/melimpah," kata Eko dalam diskusi "Peran Media dalam Wacana Publik atas Diskriminasi dan Pelanggaran Hak-Hak Kelompok Minoritas di Jakarta, Ahad (13/3).
Ia menjelaskan, dalam kasus lahan dan SDA, konflik terjadi akibat diberikannya izin dan konsesi oleh Negara kepada pemilik modal (dalam negeri dan asing) di beragam sektor SDA. Ini dilakukan untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan menghilangkan hak masyarakat setempat. Sehingga, masyarakat lokal pun menuntut haknya kembali.
Lebih lanjut, Eko mengatakan perusahaan akan melakukan berbagai cara untuk menguasai kekayaan alam. Ia mencontohkan kasus Masyarakat Hukum Adat (MHA) Tanah Samawa di Sumbawa serta MHA Papua.
"Dari membuat masyarakat adat tandingan (kasus MHA Tanah Samawa di Sumbawa, MHA Papua), pemekaran wilayah kabupaten (kasus usulan Aru Perbatasan), dll," jelas dia.
Sebab itu, Eko menilai meluasnya isu SARA selama ini erat hubungannya dengan konflik perebutan SDA. Eko pun juga mencontohkan sejumlah kasus konflik agraria dengan sumber daya alam, yakni kasus MHA Cisitu Lebak dan tambang emas Blok Cikidang, kasus MHA Tobelo Dalam dan tambang Nikel PT Wedabay, kasus MHA Wolani, Mei dan Woni, Paniai-Papua dengan tambang emas ilegal, dll.
Eko menambahkan, perebutan sumber daya alam merupakan penyebab utama terjadinya konflik. Kemudian, penyebab selanjutnya yakni terjadinya kecemburuan sosial di masyarakat, serta pertarungan politik lokal. Dan terakhir, konflik dapat terjadi lantaran masalah agama.
"Data dari Fokus Bali (2013), cadangan emas terbesar ada di wilayah Masyarakat Hukum Adat dan Taman Nasional (Konservasi)," kata Eko.