REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Umum Partai Golkar yang akan ditentukan dalam Munaslub Partai Golkar mendatang diharapkan tidak merangkap jabatan publik lainnya. Ketua Umum Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) Yorrys Raweyai mengatakan, dengan tantangan dan permasalahan yang ada saat ini, ketua umum Partai Golkar mendatang harus bisa fokus menjalankan tugasnya tanpa dibebani dengan tugas lainnya.
Menurut Yorrys, setiap kader Golkar berhak mencalonkan diri jadi ketua umum. Hal yang tidak boleh adalah apabila orang luar mau jadi ketua umum Golkar. “Namun demikian, saya perlu mengingatkan bahwa Golkar membutuhkan pemimpin yang full time karena tantangan dan masalah yang dihadapi Golkar ke depannya tentunya membutuhkan orang yang fokus dan tidak terbagi waktunya dengan tugas-tugas lainnya,” ujar Yorrys ketika dihubungi, Jumat (11/3).
Kendati demikian, Yorrys enggan menjelaskan alasan keinginannya itu ada keterkaitan atau tidak dengan keputusan Partai Golkar yang akan bergabung dalam pemerintahan. Sebab, Presiden Joko Widodo tidak menginginkan ketua-ketua umum partai-partai pendukungnya merangkap jabatan.
“Kalau untuk itu, nanti diputuskan dalam sidang-sidang di munaslub. Orang luar tidak bisa intervensi keputusan Partai Golkar.Siapa pun yang terpilih, tentunya adalah orang yang memiliki komitmen untuk membesarkan Partai Golkar,” ujarnya.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia Muhammad Budyatna mengatakan, Presiden Jokowi akan melanggar komitmennya yang menginginkan ketua umum partai pendukungnya tidak boleh merangkap jabatan. Jika nanti PAN atau Partai Golkar yang dalam munaslubnya memilih ketua umum yang sudah memiliki jabatan publik, kata Budyatna, maka ketua umumnya harus tidak merangkap jabatan.
“Jokowi itu memiliki komitmen di awal pemerintahannya bahwa ketua umum partai tidak boleh rangkap jabatan. Inilah sebabnya ketua umum-ketua umum partai yang tergabung dalam KIH, seperti Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Nasdem Surya Paloh, dan Ketua Umum Hanura Wiranto tidak mendapatkan jabatan apa-apa. Kalau untuk PDIP, kan tidak mungkin Megawati jadi anak buah Jokowi di pemerintahan, tapi kan pengurus-pengurus PDIP lainnya yang jadi menteri, seperti Puan Maharani harus melepaskan jabatan partainya,” kata Budyatna.
Apabila PAN dan Golkar nantinya dinakhodai kader yang sudah memiliki jabatan publik, Budyatna melanjutkan, maka mereka harus melepaskan jabatan publik yang dimilikinya jika ingin masuk pemerintahan Jokowi. Tanpa melepaskan salah jabatan publik lain yang dimilikinya, maka tentu akan membuat iri ketua umum-ketua umum maupun pengurus partai KIH lainnya.
”Kalau Golkar misalnya dipimpin oleh Ade Komarudin yang sekarang ketua DPR, apa ketua umum partai KIH atau Puan Maharani mau menerimanya?” kata dia.
Ketua DPR yang juga Wakil Ketua Partai Golkar, Ade Komarudin, mendeklarasikan diri sebagai ketua umum Partai Golkar di Yogyakarta. Kendati demikian, deklarasi pencalonan Ade Komarudin sebagai ketua umum Partai Golkar tidak mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pengurus partai di tingkat I dan II. Hanya sebagian pengurus DPD II yang hadir. Tidak sedikit para ketua DPD yang terlihat hadir saat deklarasi Ade masih bertemu dengan calon-calon lainnya sebelum pergi di Jogja. Beberapa ketua DPD yang tidak hadir antara lain ketua DPD I NTB, NTT, Sulawesi Utara, dan Jambi. Sementara pengurus DPD II Jawa Timur, dari 38 DPD II, 22 di antaranya tidak hadir.