REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Praktik perdagangan dan pembunuhan satwa langka asal Indonesia masih ada. Pada 2016, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan 25 satwa prioritas untuk dilindungi serta ditingkatkan populasinya.
Diperkirakan, 100 juta satwa terbunuh setiap tahun di dunia untuk perdagangan ilegal. Nilai perdagangannya mencapai 160 miliar dolar per tahun. Bahkan, menurut data TRAFFIC Illegal Wildlife Network pada 2009 nilai penjualannya mencapai 323 miliar dolar AS. Nilai perdagangan satwa dan tumbuhan liar merupakan terbesar ketiga di dunia setelah perdagangan narkoba dan senjata.
Kepala Pusat Keteknikan Kehutanan dan Lingkungan Sekretariat Jenderal KLHK Indra Eksploitasia menguraikan, kedua puluh lima hewan tersebut di antaranya harimau sumatera sebanyak 153 ekor, gajah sumatera sebanyak 563 ekor, badak jenis Rhinoceros sondaicus sebanyak 58 ekor dan badak jenis Dicherorhinus sumatrensis sebanyak 29 ekor.
Selanjutnya yakni Banteng Jawa sebanyak 394 ekor, empat spesies Owa sebanyak 461 ekor, Orangutan sebanyak 3.200 ekor, Bekantan 2502 ekor, Komodo 5954 ekor dan Jalak Bali 147 ekor. "Kita juga menjaga dan meningkatkan populasi Maleo yang saat ini ada sebanyak 6.787 ekor, Babirusa 877 ekor, Anoa 661 ekor, elang 82 ekor dan 5 spesies Kakatua dengan total jumlah terdata 1389 ekor," katanya.
Hewan selanjutnya yakni macan tutul sebanyak 20 ekor, rusa bawean sebanyak 275 ekor, tujuh spesies cendrawasih sebanyak 141 ekor, surili 184 ekor, tarsius 82 ekor, monyet hitam Sulawesi 319 ekor, julang Sumba 30 ekor, nuri kepala hitam 8 ekor, penyu 4.890 ekor, kanguru pohon 10 ekor dan celepuk Rinjani sebanyak 27 ekor. Hewan-hewan tersebut tersebar berdasarkan habitatnya di 300 situs monitoring.
Perdagangan satwa langka diakuinya memang menggiurkan. Namun dampaknya akan menyebabkan kepunahan serta meningkatkan potensi penyebaran penyakit hewan ke manusia maupun sebaliknya.