REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) berencana maju kembali ke ajang Pemilihan Gubernur (pilgub) 2017 lewat jalur independen. PDI Perjuangan pun menganggap langkah Ahok sebagai bentuk deparpolisasi.
Pengamat Hukum Tata Negara dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) M Imam Nasef mengatakan penyebutan deparpolisasi terhadap kemunculan calon independen adalah berlebihan. Ketentuan dalam UU No 1/2015 sebagaimana telah diubah dengan UU No 8/2015 yang membuka ruang bagi kehadiran calon independen dalam Pilkada, sama sekali tidak menutup ruang partai politik untuk mengusung calon.
"Sehingga istilah deparpolisasi dalam konteks ini tidak tepat," ujarnya, Kamis (10/3).
Diakomodasinya calon independen dalam kontestasi Pilkada justru dalam rangka mewujudkan pemilihan yang lebih demokratis. Salah satu prinsip fundamen demokrasi adalah adanya jaminan terhadap hak pilih. Baik itu hak pilih aktif (hak untuk memilih) maupun hak pilih pasif (hak untuk dipilih) bagi seluruh warga negara. Apalagi hak untuk memilih (the right to vote) dan dan hak untuk menjadi kandidat (the right to candidate) telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai hak konstitusional setiap warga negara.
"Calon independen diakomodir untuk memberikan jaminan bahwa setiap warga negara punya kesempatan untuk dipilih," kata dia.
Ini juga sekaligus menjalankan amanat konstitusi tetang prinsip kesetaraan atau kesamaan dalam pemerintahan (equality before the government) sehingga tidak bisa pencalonan kepala daerah itu hanya hak eksklusif partai politik semata.
(Baca juga: PDIP Sesalkan Sikap Relawan Ahok)