Selasa 08 Mar 2016 12:02 WIB

Warsito Pertimbangkan Tawaran Kebebasan Meneliti dari Jepang

Ilmuan dan Peneliti Warsito Purwo Taruno berbicara kepada media mengenai Pengobatan Kanker temuan Edwar Technologi di kantor Kemenkes, Jakarta, rabu (3/2).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Ilmuan dan Peneliti Warsito Purwo Taruno berbicara kepada media mengenai Pengobatan Kanker temuan Edwar Technologi di kantor Kemenkes, Jakarta, rabu (3/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penemu alat terapi kanker Electrical Capacitive Cancer Therapy (ECCT) Dr Warsito Purwo Taruno mengatakan Jepang yang terdiri atas universitas, rumah sakit dan dokter menawarkan kebebasan dalam melakukan penelitian.

"Pihak Jepang mengajak untuk bersama-sama mengembangkan ECCT," ujar Warsito saat dihubungi, Selasa (8/3).

Dia juga menambahkan Jepang juga sudah mengetahui sulitnya situasi untuk melakukan penelitian di Indonesia, karena itu mereka akan memberikan kebebasan pada Warsito untuk berkreasi. "Rasanya ingin menangis membaca tawaran dari Jepang, 'ayolah bersama-sama berkreasi secara bebas (di Jepang)'," tambah dia.

Warsito sendiri sesungguhnya ingin melakukan penelitian dan produksi massal alat terapi kanker itu di Tanah Air, serta kerja sama pemanfaatan dan aplikasi di negara-negara lain. "Kenyataannya saat ini mandek semuanya, sudah tiga bulan dan tak tentu kelanjutannya, mana yang duluan datang ada kepastian atau nafas kita berhenti duluan," keluh dia.

Jika tak ada kepastian dari pemerintah, lanjut Warsito, ia terpaksa mengambil tawaran kerja sama dari Jepang tersebut eskipun dengan konsekuensi alat terapi itu diproduksi massal di luar negeri.

"Harganya pasti lebih mahal. Apalagi kalau dibuat di Jepang. Mereka bilang satu set Rp 1 miliar pun ada yang mau beli," katanya.

Di akun jejaring sosialnya, Warsito mengeluhkan tak bersahabatnya kondisi untuk penelitian di Tanah Air. Warsito menulis kerasnya Indonesia bukan pada masalah infrastruktur atau sumber finansial yang terbatas, akan tetapi tidak tahu kepada apa atau siapa sebuah aturan melekat sehingga memang tak ada parameter untuk bisa mengukur dan memprediksinya.

Pengalamannya 12 tahun di Jepang dan tujuh tahun di Amerika pun belum cukup menjadi bekal untuk menghadapi kondisi penelitian Indonesia yang serba tak bisa diprediksi.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement