REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gempa berpotensi tsunami kembali terjadi di Nusantara ini, tepatnya di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat pada Rabu malam (2/3) lalu.
Situasi ini pun membuat banyak pihak mempertanyakan efektivitas alat pendeteksi tsunami atau buoy yang selama ini terpasang di beberapa zona wilayah.
Pakar teknologi buoy sekaligus Peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Wahyu Pandoe menjelaskan, terdapat sepuluh buoy yang telah dipasang BPPT di wilayah Samudera Hindia Barat Sumatera, Selatan Jawa, Pelabuhan Ratu, Laut Flores, Banda dan Laut Maluku. Dari 10 buoy tersebut, delapan di antaranya merupakan buatan Indonesaia.
"Dua lagi hibah dari Amerika Serikat," kata Wahyu kepada Republika, Jumat (4/3).
Pemasangan buoy ini sudah dilakukan sejak 2008. Sementara buoy ini memiliki masa kadaluarsa yang artinya harus segera didaur ulang. Hal ini karena daya tahan alat berbahan fiberglass ini hanya bisa bertahan empat hingga lima tahun.
Selain karena sudah harus didaur ulang, Wahyu menerangkan, terdapat beberapa buoy yang mengalami kerusakan atau ‘dirusak’.
"Jadi ada yang masih utuh tapi expired dan ada juga yang dirusak, nah, kalau ini tidak bisa diapai-apain," ujar Wahyu.
Wahyu juga menambahkan tentang kondisi buoy buatan Amerika Serikat yang sudah rusak. Alat tersebut hanya bertahan selama dua tahun, yakni 2007 hingga 2009. Sementara masa kadaluarsa buoy pada umumnya berlangsung empat dan lima tahun.
Dengan adanya pengrusakan ini, Wahyu menegaskan, tidak ingin menyebut salah satu pihak yang melakukannya. Hal yang pasti, lanjut dia, terdapat pihak atau oknum yang merusak buoy saat berada di tengah lautan.
"Mungkin tidak ada orang yang jalan-jalan di laut terus iseng ngerusak?" jelasnya.
Wahyu juga menerangkan, BPPT juga telah memasang buoy di sekitaran Kepulauan Mentawai. Namun keberlangsungan alat tersebut tidak bisa berlangsung lama.
Penyebab utamanya karena wilayah yang dipasang tersebut merupakan tempat penangkapan ikan. Oleh sebab itu, buoy agak sulit terhindar dari intervensi kegiatan yang bisa saja tidak sengaja tersangkut jaring ikan.
Atas kondisi ini, Wahyu menilai, daur ulang atau pemasangan buoy baru di sejumlah titik memang harus segera dilakukan. Pemasanngannya diutamakan pada wilayah yang berpotensi gempa dan tsunami seperti barat Sumatera hingga Aceh dan selatan Jawa. Namun hingga kini, Wahyu mengaku belum mendapat perintah untuk membuat buoy baru kembali.
Pada dasarnya, Wahyu melanjutkan, pihaknya sudah mengajukan agar bisa menambah jumlah buoy kepada pihak yang mengurus penyediaan anggaran. Akan tetapi belum bisa terealisasi sampai saat ini karena masalah anggaran yang belum memungkinkan. Apalagi, lanjut dia, biaya pembuatan buoy termasuk operasionalnya cukup besar.
Sebelumnya, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, semua alat pendeteksi tsunami milik Indonesia kini tidak dapat dioperasikan lagi. Kerusakan ini terjadi karena tidak dirawat atau dirusak oleh "oknum".