REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Upaya mengamandemen UUD oleh Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) RI semakin gencar. Namun, pakar hukum tata negara Mahfud MD mengatakan upaya tersebut tidaklah mudah, karena akan mendapatkan tentangan dari kalangan tertentu.
''Apapun amandemen UUD itu, begitu ditetapkan selalu diprotes, tidak ada yang langsung diterima. Karena UUD merupakan produk politik yang luar biasa melibatkan banyak pihak,'' kata Mahfud, dalam Fokus Grup Discussion (FGD), oleh Fraksi PKS, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (3/3).
Oleh karena itu, kata Mahfud, MPR jangan bermimpi memperbaiki UUD semua orang akan setuju. Bisa saja baru satu atau dua hari disahkan sudah diprotes. Menurutnya, kalau ingin mengubah GBHN itu bagus, karena negara tidak boleh berjalan sendiri.
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu, nama GBHN baru dipakai Soeharto sejak 1973. Namun, GBHN bukanlah sebuah nama yang baku , tapi merupakan sebuah kebijakan. Embrio GBHN lahir ketika Bung Karno menerapkan pembangunan Semesta berencana pada 1960.
Sesungguhnya, lanjut dia, Indonesia sudah punya GBHN, yang tercantum di dalam UU 25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional yang dikeluarkan tanggal 15 Oktober 2004 dan ditandatangani oleh Presiden Megawati.
Lalu ada juga UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-20025 yang dikeluarkan pada Era Presiden SBY. 'Tapi secara filosofi kurang kuat dibandingkan dengan GBHN,'' jelasnya.
Namun, Mahfud mengingatkan, kalau tetap mau mengamandemen kembali UUD. Maka dampaknya sangat besar, karena akan berpengaruh terhadap struktur sistem ketatanegaraan.
Pengamat Politik Yudi Latif menyatakan, bagi siapa saja yang berpikir waras, maka akan menyetujui lahirnya GBHN. Karena dirinya heran, sebenarnya sistem demokrasi yang dikembangkan saat ini mau menjadikan negara seperti apa.
Baca juga, DPD Diusulkan Dibubarkan, Ini Kata Fadli Zon.