Rabu 02 Mar 2016 21:12 WIB

Ngaglik Alami Penyusutan Lahan Hijau

Rep: Rizma Riyandi/ Red: Yudha Manggala P Putra
Warga melintas di samping mural yang bertuliskan
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Warga melintas di samping mural yang bertuliskan "Perbanyak Lahan Hijau" di kawasan Jambore, Cibubur, Jakarta Timur, Jumat (27/6).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Penyusutan lahan hijau di Sleman semakin gencar terjadi. Terutama di Kecamatan Ngaglik sebagai wilayah yang berdekatan dengan pusat kota. Camat Ngaglik Anggoro Aji Sunaryono mengatakan, enam desa di wilayahnya mengalami penyusutan lahan terbuka hijau secara signifikan.

Menurutnya hal ini disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang mencapai 2,28 persen per tahun dan berkembangnya investasi yang masuk ke Sleman. “Masing-masing desa mengalami alih fungsi lahan hijau yang bervariasi," ujar Aji.

Misalnya di Donoharjo, lahan hijau yang tersisa sekitar 65 persen. Sementara lahan hijau di Desa Sariharjo hanya tersisa tinggal 30 persen. Sedangkan untuk seluruh wilayah Ngaglik, lahan hijau yang tersisa hanya 50 persen.

Menurutnya, ada berbagai faktor yang menyebabkan alih fungsi lahan. Selain penjualan lahan petani ke pihak pengembang (property), ahli waris lahan biasanya tidak berminat untuk berkecimpung di sektor pertanian. Ditambah harga jual tanah yang semakin meningkat menyebabkan pemilik sawah tergiur untuk menjual tanahnya.

Sementara pemeritah sendiri belum bisa membebaskan lahan hijau karena keterbatasan anggaran. "Kondisi ini dilematis. Karena kami juga tidak bisa melarang warga menjual tanahnya ke investor,” ujar Aji. Ia berharap ke depannya, proses pembangunan di wilayah Ngaglik bisa berjalan sesuai dengan rencana detail tata ruang (RDTR) Sleman.

Sebab, Aji menilai banyak celah yang bisa digunakan sejumlah pihak untuk menghindari ketentuan RDTR. Salah satunya, proses peralihan tanah persawahan ke permukiman yang sering diakali pengembang. Biasanya rumah dibangun dengan menggunakan nama pemiliknya. Untuk menghindari izin pemanfaatan tanah (IPT), mereka hanya membangun empat unit saja. Kemudian ditambah lagi.

Aji juga berharap agar notaris-notaris yang membantu proses sertifikasi tanah berpedoman dengan RDTR. Maka itu, saksi-saksi dalam pembuatan sertifikat tanah diharapkan melibatkan perangkat dukuh atau desa setempat. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari peralihan lahan yang tidak sesuai fungsinya. “Kalau memang lahan hijau, ya jangan diproses. Kami akan cek nanti sesuai tidak dengan RDTR,” katanya.

Aji menjelaskan, sebagai kawasan aglomerasi dengan luas wilayah 3.852 hektare, proses pembangunan di Ngaglik saat ini tumbuh sangat cepat. Terutama di sektor perdagangan, barang, dan jasa.

Ia mengakui, secara ekonomis kondisi tersebut mampu meningkatkan pendapatan masyarakat setempat. “Namun sepanjang jalan Palagan misalnya, area sawah banyak yang berubah menjadi wilayah permukiman dan pusat kuliner,” ujar Aji. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement