Selasa 01 Mar 2016 14:02 WIB

Mendagri: Izin Mendirikan Tempat Ibadah Minimal 90 Orang Harus Dikurangi

Rep: Dyah Ratna Meta Novia/ Red: Winda Destiana Putri
Sejumlah jamaah berdiskusi di Masjid Istiqlal, Jakarta, Ahad (17/11). Selain berfungsi sebagai tempat ibadah, masjid juga dapat dipergunakan untuk kegiatan kagamaan lainnya seperti diskusi keagamaan. diskusi di masjid
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Sejumlah jamaah berdiskusi di Masjid Istiqlal, Jakarta, Ahad (17/11). Selain berfungsi sebagai tempat ibadah, masjid juga dapat dipergunakan untuk kegiatan kagamaan lainnya seperti diskusi keagamaan. diskusi di masjid

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan, ia akan terus berkoordinasi dengan Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifudin terkait Surat Keputusan Bersama (SKB) Mendagri dan Menag.

Surat keputusan tersebut membahas tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah.

Ia menilai salah satu syarat pendirian rumah ibadah harus disetujui 90 orang, tidak tepat. "Soal SKB, kami terus kontak kepada menag, nanti kami kaji, izin mendirikan tempat ibadah yang harusnya 90 orang harus dikurangi, kalau perlu enggak ada," katanya dalam siaran persnya yang diterima Republika, Selasa, (1/3).

Negara, ujar Tjahjo, harus memberikan jaminan kebebasan untuk setiap warga negara memeluk agamanya masing-masing. “Mau pengajian di mana, ibadah di mana, bangun gereja, bangun masjid di mana harus dijamin kebebasannya."

Saat ini sebetulnya masalah kerukunan umat beragama tidak perlu diperdebatkan. “Kalau bahas kerukunan lagi ya repot, mayoritas minoritas ya repot sebab masing-masing punya hak."

Perwakilan perempuan dari Fahmina Institute, Alif mengatakan, banyak kajian perda (peraturan daerah) diskriminatif sudah ditemukan Komnas Perempuan.

"Kami kaji apakah perda diskriminatif konstitusional atau tidak atau perlu direvisi, kami juga melakukan pendampingan kepada kelompok minoritas beragama."

Ia mengaku menemukan tafsir konservatif yang berujung pada kekerasan yang diilhami produk hukum nasional. Contohnya beberapa produk hukum itu seperti UU Nomor 1/1965 tentang Penodaan dan Penistaan.

"Publik banyak menafsirkan sesat dari UU ini."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement