REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Perbaikan layanan imigrasi merupakan cermin revolusi mental. Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani menilai, layanan imigrasi bukan berarti pemeriksaan tidak ketat, tetapi dalam pemeriksaan yang ketat itu harus dibarengi dengan pelayanan yang baik.
Puan mengaku sering menagih soal hal tersebut kepada Menkumham Yasonna H Laoly dan telah dijanjikan akan ada penambahan petugas dan pos imigrasi di bandar udara. Dan setelah itu dibenahi, kemudian juga harus bersinergi dengan instansi terkait.
"Sesuai dengan program atau tema oba bikin yang pasti, untuk melayani satu orang itu butuh berapa lama, sehingga bisa dipastikan kebutuhan yang melayani," tukasnya.
Menurutnya, pelaksanaan Revolusi Mental dibutuhkan kepeloporan dari para pejabat dan juga birokrasi untuk patuh terhadap berbagai instrumen regulasi, serta norma, dan peraturan perundang-undangan. Di situlah peran penting Kemenkumham untuk bisa mewujudkan kemanfaatan hukum yang berkepastian agar bisa menjadi penopang suksesnya gerakan revolusi mental.
"Dalam tahapan ini, kita akan melihat bagaimana penerapan nilai-nilai revolusi mental itu berjalan. Contohnya, bagaimana kepatuhan (compliance) terhadap norma, peraturan atau regulasi pada level birokrasi, pengusaha dan masyarakat," ungkapnya.
Puan mengungkapkan, inti dari revolusi mental adalah perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Perubahan sosial ini, kata dia, akan dipercepat dengan sebuah intervensi, yakni intervensi sosial, yang dalam nomenklatur kegiatan negara, disebut Revolusi Mental. Tujuan akhir dari gerakan revolusi mental adalah terbentuknya karakter bangsa yang berintegritas, beretos kerja positif dan mau bergotong-royong.
Puan menjelaskan, ada lima asumsi mengenai perubahan sosial yang perlu dicatat. Pertama, perubahan sosial selalu mengandung kemungkinan konsekuensi yang menyenangkan ataupun yang tidak menyenang-kan. Semua strategi intervensi perubahan harus mencoba memaksimalkan konsekuensi positif dan sebisa mungkin memitigasi konsekuensi negatif.
Kedua, perubahan sosial harus dikomunikasikan atau disosialisasikan sehingga para pemangku kepentingan di seluruh republik ini mengerti mau kemana dan bagaimana arah perubahan tersebut.
Ketiga, lokus dari mana perubahan dimulai, misalnya: individual, keluarga, masyarakat dan negara, harus diindentifikasi dengan jelas.
Keempat, identifikasi ini akan berkaitan dengan strategi apa, misalnya; kampanye, persuasi, social marketing, gerakan sosial, perubahan organisasi, penggunaan medial sosial, kesenian dan perundangan-undangan, yang akan digunakan sebagai tools untuk perubahan sosial tersebut.
Kelima, Peran pemimpin dan pelopor atau agen perubahan menjadi penting supaya perubahan bisa dimulai dan dijaga keberlangsungannya.
"Seluruh lembaga negara, baik itu Eksekutif, Legislatif, maupun Yudikatif, harus terlibat secara bersama-sama melakukan gerakan perubahan dan pembenahan secara internal. Aparatur dan lembaga negara harus menjadi Role Model dalam penerapan revolusi mental, khususnya membangun budaya hukum," kata dia.