REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, Prof Rhenald Kasali meminta semua pihak tidak tutup mata atau berpura-pura tidak mengerti, jika Revisi UU KPK penuh muatan yang melemahkan agenda pemberantasan korupsi.
"KPK perlu diperkuat bukan dikebiri. Setop kebrutalan politik dengan menghentikan niat suci bangsa memberantas korupsi," ucap dia dalam rilis yang dikirim ICW, Senin (15/2).
Sementara Guru Besar Hukum Pidana dari Unsoed, Prof Hibnu Nugroho berpendapat, untuk membatalkan rencana RUU KPK, bergantung pada Presiden Jokowi. Karena, sesuai janji saat kampanye, Jokowi berkomitmen akan memperkuat KPK.
Sehingga, sudah seharusnya presiden bisa menolak revisi, karena substansinya justru melemahkan wewenang KPK. Suatu RUU, ia berujar, harus bisa disahkan DPR RI jika mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 20 Ayat 2 UUD 1945.
(Baca Juga: Mengesahkan RUU KPK Ibarat Menggelar Karpet Merah untuk Koruptor)
Menurutnya, revisi UU KPK tidak perlu dilakukan sekarang, karena kondisi saat ini serba tidak kondusif baik dari tataran politik, tataran birokrasi, dan penegakan hukum. KPK, ia menegaskan, sekarang dalam keadaan masih cukup mampu dalam menyelesaikan suatu masalah.
"Kalau ada kekurangan-kekurangan, KPK yang akan mengetahui lebih dahulu dan harus meminta perubahan tersebut, jadi keinginan perubahan itu jangan datang dari pihak luar, tapi dari dalam KPK sendiri," jelasnya.
Jika setelah evaluasi di tubuh KPK ada kekurangan, Hibnu melanjutkan, maka KPK bisa mengusulkan ke negara untuk melakukan perubahan. Jadi kesimpulannya, jangan buang-buang waktu melakukan revisi. Menurutnya, masih banyak undang-undang yang lebih mendesak mendapatkan perhatian DPR, seperti, RUU KUHP, RUU KUHAP.
(Baca Juga: 8 Guru Besar Universitas Tolak Revisi UU KPK)
"Soal penyadapan misalnya, kita harus sepakat dulu bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa, kalau memang kejahatan luar biasa, berarti penanganannya harus ekstra pula dan melewati batas," kata Hibnu.
Lagipula, ia melanjutkan, penyadapan yang dilakukan KPK, ada audit dan evaluasi internalnya. Kalau ada pengaturan, sama saja seperti penyadapan biasa.
"Padahal spirit awalnya untuk menanggulangi kejahatan luar biasa, penanganannya sudah harus ekstra," katanya.