REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi III DPR sedang membahas Rancangan KUHP yang diajukan pemerintah. Salah satu poin yang menjadi perdebatan adalah mengenai Pasal 66 dan 67 di RUU KUHP soal pidana hukuman mati.
Namun, pidana hukuman mati dalam pasal tersebut akan dibuat fleksibel atau bahkan dihilangkan, karena terpidana mati bisa tidak jadi dieksekusi tanpa harus mendapat Grasi dari Presiden. Syaratnya, terpidana tersebut harus berkelakuan baik dan tidak melakukan kejahatannya kembali.
''Ya semua (fraksi) sepakat, artinya hukuman mati memang dapat dijatuhkan kepada seorang terdakwa, namun dia akan menjalani hukuman penjara lebih dulu dan jika dia terus menerus berkelakuan baik maka hukumannya berubah jado penjara seumur hidup atau penjara 20 tahun,'' kata anggota Komisi III DPR Arsul Sani, saat dihubungi, Ahad (14/2).
Menurut politikus PPP tersebut, pidana yang masuk dalam pengampunan hukuman mati diantaranya ancaman hukuman untuk pelaku pembunuhan berencana dan berganda, terorisme, narkotika, genosida, pelanggaran HAM berat.
Peraturan tersebut juga nantinya akan berlaku bagi warga negara Indonesia (WNI) maupun warga negara asing (WNA), selama perbuatannya dilakukan diwilayah hukum Indonesia.
''Soal tindak pidana apa saja yang dapat dihukum mati nanti akan ditetapkan dalam Buku II yang akan dibahas setelah Buku I selesai dibahas,'' jelasnya.