REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar menilai, penyebab bencana alam seperti banjir dan longsor yang terjadi belakangan ini kompleks. Salah satunya disulut oleh anomali perubahan iklim yang melanda Indonesia.
"Jelas kita tahu lingkungan kita mengalami cuaca ekstrem, ada kebakaran hutan di November akhir dan setelahnya akan diikuti gelombang La Nina," ujarnya, Jumat (12/2). Kondisi alam tidak bisa menetralisir keadaan tersebut karena fungsi hidro-orologis yang bermasalah.
Potensi banjir dan longsor bencana sebuah wilayah berbeda-beda dipengaruhi banyak faktor, termasuk kelerengan, jenis tanah, curah hujan, jenis tanaman, dan faktor lainnya. Pencemaran lingkungan, kata dia, membuat pertahanan lingkungan menjadi longgar sebab bertahun-tahun lalu digunduli.
Alhasil, pohon yang hilang tidak bisa menyerap air sehingga longsor dan banjir melanda. Tutupan lahan bermasalah sehingga agenda penyelamatan lingkungan pun mendesak dilakukan. "Penyelamatannya harus serempak, dimulai dari hulu ke hilir," katanya.
Pemerintah sudah memiliki sistem deteksi dini serta peta daerah rawan banjir dan tanah longsor. Peta tersebut diperbarui setiap tahun menggunakan Aplikasi Sistem Standar Operasi Prosedur Banjir dan Tanah Longsor (SSOP BANTAL) berbasis satuan analisa DAS.
Aplikasi tersebut berguna untuk mengetahui lokasi rawan banjir dan tanah longsor, serta dapat memberikan solusi arahan fungsi berupa manajemen pengelolaan wilayah rawan bencana. Peta tersebut sudah distribusikan kepada semua kepala daerah sebagai mitigasi bencana banjir dan longsor.
Direktur Jenderal Pengelolaaan DAS dan Hutan Lindung KLHK Hilman Nugroho menyebut, penyebab utama bencana alam didominasi kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS). Oleh karena itu, semua perangkat pemerintah seharusnya menaati Rencana Pengelolaan DAS Terpadu.
"Kerusakan bukan hanya di wilayah yang berada di kanan-kiri sungai, tapi terjadi di keseluruhan wilayah yang menampung, menyimpan, dan menyalurkan air hujan sebelum dikeluarkan melalui sungai, danau atau laut," kata dia.
Ia memaparkan, saat ini sebanyak 2.087 dari 17 ribu DAS seluruh Indonesia dalam kondisi rusak. Dilihat dari tutupan lahannya, terdapat 24,3 juta hektare yang berstatus kritis. DAS, kata dia, bukan hanya lintas pengelola, tetapi juga lintas sektor dan lintas wilayah administrasi. Maka perbaikannya pun harus dilakukan bersama-sama.
Pada suatu DAS, kata dia, juga terdapat banyak pemangku kepentingan dengan tujuan masing-masing. Sebab itulah, kata Hilman, diperlukan rencana pengelolaan yang terpadu agar masing-masing stakeholder bisa menyamakan tujuan dalam pemanfaatan dan pengelolan DAS.