REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harga pangan yang masih tinggi menjadi penyumbang besar dalam inflasi. Bahkan peningkatan harga pangan kali ini disebut sebagai fluktuasi pangan paling tinggi dalam 10 tahun terakhir.
Direktur Eksekutif The Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati mengatakan, kenaikan harga pangan memang wajar karena pemerintah telah menaikan harga dasar. Sementara program pemerintah untuk melindungi Harga dasar pun tidak berjalan dengan baik.
Pemerintah juga tidak memiliki kebijakan untuk melindungi pertani. Bahkan, dari survei Badan Pusat Statistik (BPS), memperlihatkan bahwa Nilat Tukar Petani (NTP) turun 0,27 persen.
"Sekarang Bulog saja masih kesulitan menstabilkan harga. Mereka tidak membeli semua barang dari petani, hasilnya mereka membeli barang dari pejual yang harganya juga telah naik," kata Enny dalam diskusi 'optimalisasi Penerimaan Perpajakan', Kamis (4/2).
Menurut dia, jika sulit menjaga harga pangan dari petani, pemerintah seharusnya mampu mengurangi disparitas harga mulai dari petani ke penjual. Dia mencontohkan, harga beras di petani hanya sekitar Rp 3.000, sementara harga beras dari pedagang mencapai Rp 9.000. Artinya ada peningkatan tiga kali lipat.
Enny juga mencontohkan harga daging sapi yang masih tinggi. Ini dipengaruhi oleh kebijakan pajak impor sapi yang rencananya akan dinaikan. Padahal, saat itu kebutuhan daging sapi banyak dan suplai sapi masih kecil. "Jadi pemerintah itu maunya apa sih," lanjut Enny.
Dengan semua regulasi yang belum sesuai untuk menekan harga pangan, pemerintah seharusnya melakukan koordinasi lebih baik sehingga kebijakan kementrian satu dengan yang lain tidak bertabarakan. Seperti Kementrian Perdagangan dan Pertanian yang kerap tidak sinkron. Hal ini bisa membuat kebutuhan dan harga pangan kita tinggi.