Ahad 31 Jan 2016 20:19 WIB

Cabup Berharap MK Sidangkan Kasus Pilkada Nabire

Calon bupati Nabire Decky Kayame (kiri) bersama tim suksesnya membentangkan surat rekapitulasi suara hasil pilkada Nabire, di Jakarta, Ahad (31/1).
Foto: REPUBLIKA/Eh Ismail
Calon bupati Nabire Decky Kayame (kiri) bersama tim suksesnya membentangkan surat rekapitulasi suara hasil pilkada Nabire, di Jakarta, Ahad (31/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Salah satu calon bupati (cabup) Nabire, Papua, Decky Kayame berharap Mahkamah Konstitusi (MK) menyidangkan kasus perselisihan pemilu (PHP) pilkada Nabire. Alasannya, hasil penghitungan suara oleh KPUD Nabire dinilai banyak kecurangan lantaran keterlibatan aparatur sipil negara dalam proses pilkada.

“Kami hanya minta keadilan, bagaimana bisa hasil pleno penghitungan suara dari 15 distrik di Nabire berubah di tingkat KPU?” kata Decky saat menggelar konferensi pers di Jakarta, Ahad (31/1).

Decky melanjutkan, berdasarkan hasil penghitungan suara yang dibacakan pada sidang pleno KPUD dan disiarkan secara langsung oleh Radio Republik Indonesia (RRI), dia dan pasangannya, Adauktus Takerubun, yang merupakan pasangan calon nomor urut empat, berhasil meraih 59.549 suara. Kemudian, pemenang kedua adalah pasangan nomor urut satu yang merupakan pejawat, yakni Isaias Douw dan Amirullah Hasyim, dengan raihan 56.607 suara.

“Semua warga sudah mendengar melalui siaran langsung RRI, dari delapan pasangan calon, kamilah yang menang,” ujar Decky.

Namun, dalam rapat pleno rekapitulasi perolehan suara tingkat KPU Nabire pada 17 Desember 2015, Panwas memaksa Ketua PPD Dipa Julianus Magai dan Ketua PPD Siriwo Nicolaus Dogomo untuk melakukan pembetulan atas hasil penghitungan suara di kedua distrik agar hasilnya sama dengan yang diperoleh KPU Nabire. Namun permintaan itu ditolak oleh Julianus Magai maupun Nicolaus Dogomo yang mengakibatkan keduanya dipecat saat itu juga.

Sidang di KPUD Nabire pun berakhir pada 18 Desember pukul 00.30 WIT dengan hasil suara yang berbeda dengan hasil rekapitulasi suara di tingkat distrik. KPUD Nabire menempatkan pasangan pejawat nomor urut satu, Isaias Douw dan Amirullah Hasyim, menjadi pemenang pilkada.

Terhadap kecurangan tersebut, pasangan Decky Kayame-Adauktus Takerubun telah mengajukan kasus ini ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan saat ini masih tengah menunggu proses di lembaga hukum yang menyidangkan semua persoalan PHP tersebut.

Decky mengaku mempunyai semua bukti yang diperlukan untuk mencari keadilan. Bahkan, dia kini memegang lembar formulir rekapitulasi asli di tingkat distrik. Decky hanya memerlukan jalan agar MK bisa menyidangkan kasus Pilkada Nabire. “Nanti akan kami serahkan semua bukti-buktinya. Kalaupun MK nanti menyatakan saya harus menerima hasil rekapitulasi KPUD yang penuh kecurangan itu, ya saya akan terima dan pulang dengan lapang dada,” katanya.

Mantan Ketua PPD Dipa Yulianus Magai mengatakan, saat rapat pleno di KPUD Nabire, dia diminta panwas untuk memperbaiki jumlah raihan suara masing-masing pasangan calon. Namun, Yulianus menolaknya lantaran bersikukuh hasil penghitungan sudah sesuai dengan rekapitulasi di tingkat distrik. Lantaran menolak rekomendasi panwas itu, Yulianus dipecat oleh KPUD Nabire menjelang penetapan hasil akhir penghitungan suara.

Yulianus menggugat pemecatan tersebut dan pada 26 Januari 2016 lalu sudah dinyatakan tidak bersalah oleh Pengadilan Tinggi Jayapura dalam amar putusan nomor 9/Pid.Sus/2016/PT.JAP.

“Putusan banding di Pengadilan Tinggi di Jayapura itu menunjukkan hasil penghitungan saya yang berdasarkan rekapitulasi asli di tingkat distrik sudah benar,” katanya.

Sekretaris tim sukses Decky-Adauktus, Hengky, menuding, pasangan pejawat bisa menang dan merekayasa penghitungan di tingkat KPUD lantaran keterlibatan aparatur sipil negara atau kepolisian. Beberapa anggota kepolisian diduga bekerja sama dengan anggota KPUD dan Panwas Nabire dengan mengambil secara paksa formulir C1-KWK berhologram dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di Distrik Dipa dan Siriwo. “Formulir itu kemudian diisi untuk memenangkan calon tertentu dan sesudah itu diserahkan ke KPU Nabire. Padahal, hasil penghitungan aslinya masih ada di PPD. Lalu, dari mana itu angka-angka yang tertera di C-1 KWK yang tidak ditandatangani KPPS?” kata Hengky.

Hengky melanjutkan, formulir berdasarkan hologram asli DAA-KWK tetap ada atau dimiliki PPD Dipa dan Siriwo. Formulir itu kemudian digunakan untuk membacakan hasil suara dalam rapat pleno rekapitulasi hasil penghitungan suara di tingkat KPU Nabire dan langsung diserahkan ke KPU Nabire.

“Ini kan aneh? Kami juga punya bukti berupa tanda terima penyerahan formulir C-1 KWK berhologram dari polisi ke KPUD. Mana bisa kok polisi yang menyerahkan formulir itu?” ujar Hengky.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement