REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lewat empat Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT Wijaya Karya (Wika), PT KAI, PT Jasa Marga, dan PTPN VIII, pemerintah memutuskan mempercepat proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung. Tidak hanya itu, dalam membiayai proyek tersebut, empat BUMN itu juga telah membentuk konsorsium dan meminjam dana dari Cina.
Yusril Ihza Mahendra mengatakan di titik inilah salah satu kontoversi proyek kereta cepat Jakarta-Bandung itu mengemuka. Menurutnya, total biaya yang dikeluarkan untuk proyek tersebut ditaksir mencapai 55 miliar dolar AS, atau sekitar 77 triliun rupiah.
25 persen dari total biaya itu akan ditutupi melalui setoran equity empat BUMN tersebut. Sedangkan sisanya, atau sekitar 75 persen, akan meminjam dana dari Cina. Namun, jika nantinya proyek itu merugi, maka bukan tidak mungkin, pihak Cina dapat melakukan akuisisi saham dari BUMN-BUMN tersebut.
''Tentu Cina tidak mau ambil pusing, rugi atau untung, utang harus tetap dikembalikan dan harus dibayarkan. Kalau empat BUMN itu tidak mampu bayar utang ke Cina. Mereka akan mengakuisisi saham, maka BUMN bisa jomplang. 51 persen sahamnya sudah dimiliki Cina, bahkan besarannya bisa juga lebih,'' katanya kepada Republika.co.id, Sabtu (30/1).
Tidak hanya itu, Yusril juga menyoroti soal potensi kerugian yang bakal dialami oleh negara, dalam hal ini jika nantinya proyek tersebut merugi atau bahkan gagal. Berdasarkan pasal 65 PP Nomor 45 Tahun 2005, jika BUMN mendapat penugasan dari pemerintah untuk mengerjakan suatu proyek, namun kemudian proyek tersebut merugi, maka pemerintah harus membayar kerugian tersebut. PP itu pun peraturan yang sah dan sifatnya mengikat.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015, ujar Yusril, pemerintah memang telah menugaskan empat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mempercepat pembangunan proyek kereta api cepat tersebut.
''Jadi, kalau misalnya nanti rugi, pemerintah tidak mau bayar dan akhirnya dituntut ke Pengadilan, maka Pemerintah RI pasti kalah,'' tutur pakar hukum Tata Negara tersebut.