REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan berharap, pemerintah pusat mengalokasikan dana triliunan rupiah untuk program non struktur perbaikan Sungai Citarum. Agar, dana tersebut setara dengan dana infrastruktur.
Menurut Heryawan, dana struktur sebelumnya sudah diterapkan sendiri pemerintah pusat sebesar triliunan rupiah untuk pembangunan bersifat sarana-prasarana perbaikan. Termasuk, pembangunan kirmir hingga pengerukan sedimentasi di kawasan tengah dan hilir sungai.
"Tapi ini sifatnya temporer," ujar Heryawan yang akrab disapa Aher, belum lama ini.
Pada 2012, kata dia, dilakukan program struktural. Lalu, 2013 dan 2014 tidak banjir, namun 2015 banjir. Sedangkan pada 2016, ada banjir tapi kecil. Tapi, program struktural belum seimbang dengan non struktural yang masih miliran rupiah.
"Saya berharap pusat gelontorkan lagi dana triliunan rupiah untuk non struktural karena dana pemda terbatas," katanya.
Di Jabar, kata dia, Citarum adalah sungai terpanjang (297 km), terbesar (melewati sedikitnya empat kabupaten dan dua taman nasional Gede Pangrango dan Gunung Halimun). Citarum, terkuat total potensi airnya mencapai 13 miliar m3/tahun dan baru dimanfaatkan 57,9 persen. Sekaligus, terkoneksi (dengan lima bendungan. Tiga di antaranya PLTA yakni Saguling, Cirata, dan Jatiluhur.
Namun, kata dia, mengacu data Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum, lumpur mengendap di dasar sungai mencapai 500 ribu meter kubik per tahun dengan penurunan muka air tanah rata-rata 8,3 cm per tahun. Selain itu, tiap harinya diduga ada polusi 400 ton limbah ternak, 25.000 limbah sampah, dan 280 ton limbah pabrik.
Program struktur sendiri, kata dia, saat ini sudah masuk tahap normalisasi sungai tahap ketiga yakni KM 41-60 dan ditargetkan selesai tahun depan (KM 61-77). Sebelumnya, dilakukan tahap pertama (KM 0-20) dan tahap kedua (KM 21-40).
Aher mengatakan, pendekatan non infrastruktur akan menuntaskan semua pangkal masalah. Terutama, upaya konservasi daerah tangkapan air di kawasan Bandung Utara dan Bandung Selatan.
"Jika kita telisik, pangkal problem Citarum ada pada erosi di Gunung Wayang sebagai sumber mata air Citarum yang terus terjadi," katanya.
Sehingga, kata dia, area tangkapan air menurun. Selain itu, berbagai peternakan dan pemukiman menjadikan sungai ini sebagai tempat sampah, serta industri yang berprilaku seenaknya.
"Di mata saya, ini semua perlu pendekatan non struktur," katanya.
Di sisi lain, kata dia, penguatan non struktur juga diperlukan karena rendahnya kesadaran masyarakat dan penegakan hukum di kawasan tersebut. Aher heran dengan prilaku, terutama pengelola industri di area itu, yang sebenarnya kaum terdidik karena lulusan perguruan tinggi namun membiarkan buang limbah ke sana.
"Ditambah di lapangan terjadi kongkalikong. Malah proses hukum yang berkasnya sudah P 21 (lengkap, red), eh berakhir bebas," katanya.
Ini, kata dia, tidak menimbulkan efek jera. Karena, pembuangan limbah kimia berbahaya dari industri ke Citarum kini terus berlangsung. Selain revitalisasi di Gunung Wayang, dana non struktur juga digunakan dalam upaya pembebasan (penarikan lahan negara) di sempadan sungai.
Misalnya pada KM 21-40 yang sudah banyak dihuni peternakan sapi, yang ironisnya minta ganti rugi ketika Pemprov akan menata ulang beberapa waktu lalu.
"Ini juga akan digunakan dalam program peningkatan kesadaran secara masif dan kontinue," katanya.
Selain Gunung Wayang, kata dia, kesadaran lingkungan yang rendah di daerah pemukiman juga menjadi target program non struktur ini.
"Kami optimistis karena sikap pemerintah daerah sekitar sungai juga satu visi," katanya. N Arie