Kamis 21 Jan 2016 12:47 WIB

Revisi UU Terorisme Jangan Bungkam Kebebasan

Pelajar di Jakarta melakukan aksi melawan terorisme #pelajar TIDAK TAKUT
Foto: aji nugroho
Pelajar di Jakarta melakukan aksi melawan terorisme #pelajar TIDAK TAKUT

REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Wacana revisi Undang-Undang Terorisme jangan sampai membungkam kebebasan. Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Prof Hibnu Nugroho, menyebut bahwa meski diperlukan, revisi terhadap UU tersebut juga harus dilakukan dengan cermat.

"Revisi itu suatu yang tidak dapat dimungkiri karena dinamika masyarakat, perkembangan hukum, perkembangan politik hukum. Tetapi yang jadi catatan, jangan sampai revisi ini (revisi UU Terorisme--Red) akan membungkam kebebasan," katanya, Kamis (21/1).

Ia mengatakan hal itu terkait munculnya wacana revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang menyusul maraknya aksi teror di sejumlah daerah, khususnya di kawasan Sarinah, Jakarta, pada 14 Januari 2016. Oleh karena itu, kata dia, tidak masalah jika UU Terorisme itu direvisi selama tidak dijadikan alat oleh penegak hukum untuk menimbulkan ketakutan.

"Kita jangan mengulang (pengalaman) tahun-tahun yang lalu karena undang-undang itu kalau sudah keras sekali, ibarat pisau bermata dua. Jadi, kalau itu (revisi--Red.) dilakukan, oke tapi harus mendengar aspirasi masyarakat maupun tokoh-tokoh hak asasi manusia," ujarnya.

Saat ditanya mengenai kemungkinan intelijen diberi kewenangan untuk menangkap terduga teroris, Hibnu mengatakan bahwa hal itu belum saatnya dilakukan. "Saya kira itu (kewenangan intelijen menangkap terduga teroris--Red.) akan berlebihan nanti. Makanya, ini agak berbahaya kalau revisinya kebablasan karena era sekarang adalah era keterbukaan, era berekspresi," katanya menegaskan.

Menurut dia, sebenarnya ada rasa ketakutan di masyarakat sehingga semua pihak harus duduk bersama dalam pembahasan revisi UU Terorisme itu. Ia mengatakan, pemberian kewenangan kepada intelijen untuk menangkap terduga teroris sebenarnya bisa dilakukan, tetapi untuk saat ini cukup dilakukan oleh kepolisian karena yang terpenting adalah pencegahannya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement