REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan, Bandung, Asep Warlan Yusuf menilai, memperbaiki kinerja aparat penegak hukum lebih baik daripada merevisi Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Penting betul Presiden bukan hanya berbicara untuk mengubah UU Terorisme, tapi mengubah bagaimana kinerja dari aparatur penegak hukum," kata Asep saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (20/1).
Menurutnya, sejauh ini aparat penegak hukum belum bisa menjalin komunikasi dengan baik. Menurutnya, deradikalisasi yang dilakukan aparat penegak hukum pun belum dikerjakan dengan baik. "Aparatur juga kan kadang-kadang tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Dengan ormas islam contohnya, atau dengan pesantren, kan komunikasinya belum dibangun dengan baik," ucap Asep.
Maka dari itu, menurut Asep, akan lebih baik jika meluangkan waktu sejwnak untuk mwngkaji dan mengevaluasi faktor apa saja yang menyebabkan teror terjadi di Indonesia. Akan lebih baik pula jika itu semua tidak langsung direspon dengan merevisi Undang-Undang Terorisme.
"Jadi perlu ada waktu sejenak untuk mengkaji, mengevaluasi faktor apa yang menyebabkan bisa kecolongan (teror). Jangan malah direspon dengan mengubah undang-undang," ungkap Asep.
Sebelumnya, Kepala BNPT Saud Usman mengaku sudah menyiapkan revisi Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme agar aparat dapat melakukan pencegahan sebelum terjadinya aksi teror.
UU pemberantasan terorisme yang saat ini ada, menurutnya belum banyak mengatur hal-hal terkait penanggulangan teror. Ia menyebutkan beberapa aturan yang akan disempurnakan termasuk pembinaan, pencegahan, rehabilitasi, dan sebagainya.