Ahad 27 Dec 2015 00:43 WIB

Benarkah Rakyat tak Menghendaki Pilkada?

Rep: c25/ Red: Taufik Rachman
Pilkada serentak 2015
Pilkada serentak 2015

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Ratusan kasus mengantri di Mahkamah Konstitusi (MK) seusai pelaksanaan Pilkada Serentak. Hal itu dinilai sebagai bukti kalau Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tidak lagi diingini rakyat.

"Rakyat sudah tidak menghendaki pilkada," kata Salamuddin Daeng, saat menjadi pembicara di sebuah diskusi publik di Jakarta, Sabtu (26/12).

Pengamat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng, menilai rendahnya partisipasi masyarakat atas Pilkada Serentak beberapa waktu lalu, sebagai bukti ketidakinginan rakyat. Menurutnya, masyarakat yang menjadi pemilih harus dibujuk sedemikian rupa, sebelum rela untuk memberikan suara mereka.

Ia mengungkapkan orang-orang yang datang untuk memberikan suaranya, terlebih dahulu harus dimobilisasi, bahkan dengan uang untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Daeng mengatakan kalau kedatangan masyarakat yang menjadi pemilih di banyak tempat, disambut bagaikan seorang anak hilang oleh para petugas yang berada di TPS.

Untuk itu, ia menegaskan kepada publik kalau Pilkada tidak memiliki hubungan dengan kesejahteraan rakyat, seperti yang selama ini banyak menjadi pola pikir masyarakat. Pelaksanaan Pilkada, lanjut Daeng, juga tidak memiliki hubungan dengan turun atau tidaknya angka tindak pidana korupsi, yang terjadi di Indonesia.

Daeng menambahkan berbagai persoalan yang sedang dihadapi Indonesia, seperti tingginya hutang kepada Bank Dunia, tidak akan mampu terselesaikan dengan dilaksanakan Pilkada. Terkait sistem Pilkada yang telah diatur di UU, Daeng menyebutnya sebagai sistem 'ketok magic', yang akan memiliki benjolan di tempat lain saat sebuah benjolan diperbaiki.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement