Jumat 18 Dec 2015 05:00 WIB

Pengamat: Pimpinan DPR Sebaiknya Dipilih Ulang

 Ketua DPR Setya Novanto berjalan saat akan mengikuti sidang Paripurna di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (15/12).  (Republika/Tahta Aidilla)
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Ketua DPR Setya Novanto berjalan saat akan mengikuti sidang Paripurna di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (15/12). (Republika/Tahta Aidilla)

REPUBLIKA.CO.ID, GORONTALO -- Pengamat politik dari Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado Mahyudin Damis menilai pimpinan DPR RI sebaiknya pakai mekanisme kocok ulang.

"Dengan melakukan kocok ulang pimpinan DPR RI pascapengunduran Setya Novanto, merupakan kebijakan yang ideal, dengan memberikan kesempatan pemenang Pemilu 2014 sebagai Ketua DPR," kata pengajar sosiologi politik FISIP Unsrat ini, Kamis (17/12).

Mekanisme kocok ulang tentunya dengan merevisi kembali Undang-undang UU MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), yang waktu penetapan lalu masih bersifat emosional pada kepentingan jelang Pemilu 2014.

Pada umumnya masyarakat, kata Mahyudin, menjadi bingung karena siapa sebenarnya pemenang Pemilu 2014 yang tidak memegang kendali di parlemen.

"Diibaratkan orang lari jarak jauh, sudah berusaha semaksimal mungkin untuk memenangkan lomba itu untuk mendapatkan medali, namun yang menikmati adalah peserta urutan kedua, ketiga dan lainnya," tandasnya.

Dengan mengembalian UU MD3 seperti di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu, akan semakin adil sistem perpolitikan di daerah.

"Jika PDIP yang memegang pimpinan DPR RI, tidak berarti sikap kritis lembaga wakil rakyat itu untuk pemerintahan saat ini berkurang atau tidak ada. Kekritisan tentunya datang dari parpol-parpol nonpemerintahan dan masyarakat luas," tambahnya.

Saran lain juga, setelah Setya Novanto mundur dari Ketua DPR RI, lembaga wakil rakyat itu agar lebih mawas diri.

Menurutnya, citra DPR RI itu sudah jatuh di mata masyarakat, sehingga untuk memperbaiki citra itu dengan menunjukkan kinerja yang lebih baik, tanpa harus ada persoalan-persoalan hukum dan etika lagi.

"Kasus Setya Novanto itu sebaiknya yang terakhir dari beberapa kasus yang terjadi sebelumnya, seperti adanya operasi tangkap tangan KPK dengan anggota DPR, atau persoalan etika lainnya," ujarnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement