REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta pemerintah mengangkat kasus-kasus pelanggaran HAM berat ke publik. Ini dilakukan sebagai salah satu langkah penyelesaian peristiwa yang telah "terkubur bertahun-tahun.
"Komunikasi dengan publik harus terus diperkuat di masyarakat. Pelanggaran-pelanggaran HAM adalah luka bangsa yang harus disembuhkan," ujar Komisioner Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron di Jakarta, Selasa (15/12).
Menurut Nurkhoiron, kendali penuntasan pelanggaran HAM sepenuhnya berada di tangan Presiden Joko Widodo. Komnas HAM menyatakan siap membantu Presiden terkait hal tersebut.
Namun, Komnas HAM menilai usaha ke arah penyelesaian pelanggaran-pelanggaran berat masih akan terganjal oleh beberapa pejabat di dalam kabinet.
"Kendalanya ada di sosok-sosok ini, bukan Presiden," kata Nurkhoiron tanpa memperjelas siapa saja oknum yang dimaksudnya.
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sendiri memiliki komitmen untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Tanah Air. Hal tersebut terdapat dalam visi misi dan program aksi berjudul Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian, dokumen itu berisi penjabaran Nawa Cita.
Dalam naskah tersebut tertulis, "Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia, seperti kerusuhan Mei 98, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, penghilangan paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965".