Sabtu 12 Dec 2015 15:00 WIB

Soal Freeport, Mantan Pejabat Ini Sebut tak Mau Nasionalisme Buta

Rep: c14/ Red: Dwi Murdaningsih
Freeport
Freeport

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polemik pengusutan atas skandal "Papa Minta Saham" di Majelis Kehormatan Dewan (MKD) mencuatkan usulan pembentukan panitia khusus (pansus) Freeport. Desakan untuk nasionalisasi PT Freeport Indonesia (PTFI) pun juga ikut mengemuka.

Menurut mantan direktur pembinaan dan pengusahaan mineral dan batubara Kementerian ESDM MS Marpaung, wacana pengambilalihan PTFI oleh negara harus didasarkan pada argumentasi yang logis. Jangan hanya didorong semangat nasionalisme yang gegabah.

Sebab, lanjut dia, secara pengusahaan pertambangan, kehadiran PTFI yang sudah puluhan tahun di Indonesia tidak merugikan.

"Ruginya apa? Kita enggak keluar modal," ujar MS Marpaung dalam sebuah diskusi di Cikini, Jakarta, Sabtu (12/12).

Dia melanjutkan, Indonesia bisa saja mengambil alih operasi PT Freeport Indonesia pada saat tenggat waktu kontrak karya PTFI habis pada 2021. Dengan begitu, Indonesia mesti membeli aset-aset PTFI yang tersisa melalui corporate valuation. Marpaung menengarai, nilai aset PTFI mencapai 12-16 miliar dolar AS tahun ini.

Dia juga menjelaskan, tidak ada kepastian bahwa harga emas ke depannya akan naik. Berkaca dari kalkulasi operasional Freeport, pemerintah mesti cermat sebelum nantinya memutuskan apakah PTFI akan diizinkan kembali beroperasi atau tidak pasca tahun 2021.

Marpaung menjabarkan, ongkos produksi satu ounce bijih emas di satu tambang saja menelan dana sebesar 1.100 dolar AS. Kini, harga emas diperkirakan sebesar 1.200 dolar AS sehingga PTFI hanya untung 100 dolar AS.

Dari 100 dolar itu, PTFI mesti membayarkan royalti kepada pemerintah, pinjaman bank, dan sebagainya. Indonesia hanya terima jadi royalti, meskipun masih di kisaran di bawah 10 persen, tak peduli apakah PTFI rugi atau untung.

Dengan demikian, lanjut Marpaung, nasionalisasi PTFI baik hanya bila negara mampu menjamin profesionalitas pihak Indonesia yang akan mengelola pertambangan di Bumi Cendrawasih itu. Apalagi, harga jual komoditas tambang mempunyai tren penurunan.

"Makanya sebagai mantan pejabat, saya setuju saja (negara mengambil alih PTFI) tapi dengan catatan. Begitu kita tetapkan, kalau lagi untung, kita tertawa. Janganlah begitu rugi, kita terus cuci tangan semua. Mineral (harga jualnya) adakalanya jatuh. Kan harga emas bisa drop. Sekarang, (tambang) batu bara rugi semua. Harganya enggak sampai senilai kacang goreng," ucap Marpaung.

Karena itu, menurut dia, pengambilalihan PTFI tidak mesti "mengusir" semua unsur asing dari tambang emas di Papua. Bisa saja kepemilikan jatuh ke Indonesia, namun untuk operasinya bisa diserahkan ke tenaga asing profesional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement