REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR sedang memproses dugaan pelanggaran etika Ketua DPR, Setya Novanto (Setnov), dalam pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden di perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia. Namun, penyelesaian kasus tersebut dinilai tidak cukup melalui sidang etik.
Menurut pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah, Fachri Ali menilai, dengan menilik bukti-bukti rekaman percakapan yang telah diputar secara terbuka, sebenarnya penegak hukum sudah bisa masuk untuk mengusut adanya dugaan pelanggaran hukum dalam kasus tersebut. Penegak hukum ini pun tidak hanya Kejaksaan Agung, tapi juga Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
''Sebenarnya penegak hukum sudah bisa bertindak atas kasus tersebut,'' ujar Fachri saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (9/12).
Sebelumnya, Kejaksaan Agung telah melakukan pemeriksaan dan meminta barang bukti rekaman kepada Presdir PT Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin. Hal ini terkait adanya dugaan permufakatan jahat dalam pertemuan antara Setnov dan pengusaha Riza Chalid dengan Maroef pada 8 Juni silam.
Sementara terkait proses sidang yang tengah dilakukan MKD, Fachri menilai, saat ini di MKD ditunggangi kepentingan-kepentingan politik tertentu, terutama yang berusaha menguntungkan Setnov. Fachri pun berpendapat, sebenarnya dari pengusutan kasus Setnov ini bisa menjadi momentum untuk memperbaiki citra buruk DPR dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga perwakilan. (Baca juga: Polri Mulai Teliti Kasus Setya Novanto)