Selasa 08 Dec 2015 13:19 WIB

'Ada Ketidakadilan Dalam Proses Pengungkapan Skandal Freeport'

Rep: Reja Irfa Widodo/ Red: Nur Aini
Ketua DPR Setya Novanto usai mengikuti Sidang perkara dugaan pelanggaran kode etik Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) secara tertutup di Kompleks Parlemen, Senanyan, Jakarta, Senin (7/12). (Republika/Rakhmawaty La'lang)
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Ketua DPR Setya Novanto usai mengikuti Sidang perkara dugaan pelanggaran kode etik Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) secara tertutup di Kompleks Parlemen, Senanyan, Jakarta, Senin (7/12). (Republika/Rakhmawaty La'lang)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berjalannya sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR terkait kasus yang melibatkan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) dinilai menandakan ada ketidakadilan dalam pengungkapan skandal tersebut. Hal ini karena dua sidang yang digelar MKD yang menghadirkan pelapor dan saksi berlangsung terbuka. Namun, saat mendengarkan keterangan Setnov berlangsung tertutup.

"Pemeriksaan tertutup atas Setya Novanto menunjukkan ketidakadilan proses dalam skandal negosiasi Freeport,'' ujar Ketua Setara Institute, Hendardi di Jakarta, Selasa (8/12).

Gagalnya MKD menggelar sidang secara terbuka dinilai sebagai kamuflase untuk terhindar dari kecaman publik dan hukuman politik. Kamuflase itu menggunakan alasan-alasan teknis pimpinan sidang dan mekanisme pengambilan keputusan oleh MKD.

Bahkan, Hendardi menilai MKD telah disusupi kepentingan-kepentingan politik tertentu. ''Yang pasti MKD telah diambil alih oleh kekuatan dan kedigdayaan politik Novanto. MKD masuk angin,'' tuturnya.

Sementara terkait permintaan dari Setnov soal sifat sidang yang tertutup, Hendardi berpendapat, apa yang dilakukan politisi Partai Golkar itu  tidak mencerminkan etika kenegarawanan. Untuk itu, tidak berlebihan jika ada tuntutan yang menyebut Setnov sebaiknya mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPR.

Perilaku Setnov ini pun diperparah dengan upaya-upaya dari pendukungnya untuk memuluskan langkah Setnov dalam kasus ini. Hendardi menilai, sebenarnya kasus pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden ini sudah bisa ditangani oleh pihak penegak hukum yakni KPK ataupun Polri. Hal ini untuk menghindari putusan yang buruk dan kemarahan publik.

''Dugaan tindak pidana permufakatan jahat, pemerasan atau penipuan, dan gratifikasi, bisa menjadi dasar KPK atau Polri untuk bekerja,'' ujar Hendardi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement