Selasa 01 Dec 2015 08:02 WIB

Menghapus Stigma Negatif HIV

Rep: riga nurul iman/c10/c26/ Red: Friska Yolanda
Petugas kesehatan mengambil darah untuk tes HIV secara gratis di Taman Suropati, Jakarta, Ahad (29/11). (Republika/Raisan Al Farisi)
Petugas kesehatan mengambil darah untuk tes HIV secara gratis di Taman Suropati, Jakarta, Ahad (29/11). (Republika/Raisan Al Farisi)

REPUBLIKA.CO.ID, Ron Woodroof tidak pernah menggunakan narkoba. Ia pun tak pernah berhubungan sesama jenis. Tapi, saat kecelakaan kerja dan dites darah, dokter menyatakan Woodroof positif mengidap Human Immunodeficiency Virus (HIV). Bahkan, dokter memvonis usianya tinggal 30 hari.

Akibat penyakit itu, Woodroof dikucilkan oleh keluarga dan teman-temannya, dipecat dari pekerjaannya, dan akhirnya diusir dari rumah. Di tengah kesulitan itu, ia pun menjalani sisa hidupnya dengan menjual obat ujicoba untuk pengidap HIV. 

Demikian cerita Woodroof dalam film Dallas Buyers Club. Film tersebut berlatar tahun 1980-an, saat penyakit seperti HIV dan AIDS dianggap penyakit paling buruk. Pengidap HIV/AIDS dikucilkan. Mereka dijauhi dan dianggap sampah masyarakat.

Hari ini, stigma negatif itu masih kuat. Konselor Perawatan Dukungan Pengobatan (PDP) HIV-AIDS RSUD Kota Tasikmalaya Eli Marlina mengatakan, tidak sedikit penderita HIV/AIDS yang minder untuk melakukan pemeriksaan dan pengobatan.

Menurutnya, penderita HIV/AIDS tidak harus dijauhi dan diasingkan. Mereka seharusnya dirangkul dan diberi dukungan. Sebab, mereka membutuhkan lingkungan yang mendukung untuk menuju proses penyembuhan.

“Sosialisasi harus lebih gencar lagi, agar stigma buruk di masyarakat berkurang,” kata Eli kepada Republika.co.id, Senin (30/11).

Pengelola Program IMS dan HIV/AIDS Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya sekaligus pengurus Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Tasikmalaya Ari Kusmara mengatakan, munculnya stigma negatif di masyarakat terhadap penderita HIV/AIDS bukan tanpa sebab. Ada kesenjangan sosial antara si penderita dan masyarakat umum. Selain itu, minimnya wawasan juga menjadi faktor penyebab. 

Masyarakat pada umumnya mengetahui orang-orang yang terjangkit HIV/AIDS merupakan mereka yang hidup dengan gaya hidup berisiko tinggi. Atau, mereka beranggapan penderita HIV/AIDS biasanya melakukan perilaku seks bebas dan mengonsumsi narkoba.

Berangkat dari masalah tersebut, KPA merancang program Warga Peduli AIDS (WPA). Program tersebut membuat tiga elemen bersinergi, yaitu masyarakat, orang-orang beresiko tinggi dan pelayanan kesehatan.

KPA melatih agen di setiap puskesmas untuk terjun memberikan sosialisasi terkait HIV/AIDS. Masyarakat diarahkan agar mengimbau orang yang melakukan gaya hidup berisiko tinggi di lingkungannya untuk memeriksakan diri. Hal ini diharapkan akan membantu mengurangi penularan HIV/AIDS.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement