Ahad 29 Nov 2015 11:48 WIB

Banjir Cieunteung, Warga: Ini Baru Permulaan

Rep: c12/ Red: Friska Yolanda
warga melintas di Kampung Cieunteung, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, Kamis (26/11)
Foto:

Setiap tahun, Kampung Cieunteung selalu menjadi pusat perhatian karena berubah menjadi danau kecil. Setiap tahun pula ada rencana untuk merelokasi warga. Namun hingga saat ini, rencana itu tinggal rencana.

Diding mengaku sudah bosan dengan kondisi ini. Namun, persoalan relokasi selalu bermasalah pada harga yang ditawarkan pemerintah. Warga kurang sreg dengan harga yang ditawarkan itu.

“Kalau dibilang bosan, ya bosan,” katanya.

Tidak ada persiapan khusus yang dilakukan Diding untuk mengantisipasi banjir tahun ini. Jika sudah hujan deras, air pun akan semakin tinggi. Saat itu terjadi, ia pun akan pergi ke tempat pengungsian atau ke rumah saudaranya yang tidak tergenang air.

Banjir yang terjadi di kampung ini memang sudah terjadi sejak lama. Warga Kampung Cieunteung lain Dayat mengatakan, banjir di kampungnya sudah terjadi sejak 1980-an. Kendati begitu, banjir yang terjadi tidak setinggi sekarang.

“Paling parah pun tidak sampai dua meter,” katanya.

Peristiwa terparah dirasakan Dayat pada 2009. Saat itu, ia dan warga lainnya harus mengungsi selama lebih dari delapan bulan. Mereka mengungsi ke kantor Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), kantor Kelurahan Baleendah, dan Gedung Juang. Tiga tempat yang masih berlokasi di Baleendah ini memang menjadi langganan tempat pengungsian bagi warga Cieunteung yang terdampak banjir.

Terkait relokasi, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung menyatakan pembebasan lahan Kampung Cieunteung hingga saat ini masih terkendala harga yang kerap tak cocok dengan keinginan warga. Kewenangan pembebasan lahan tersebut pun sebenarnya ada pada Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWSC). “Yang membebaskan lahan harusnya BBWS,” kata Asisten Daerah bidang Ekonomi dan Kesejahteraan Rakyat Pemkab Bandung, Marlan.

Kata mantan kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bandung ini, pembebasan lahan di permukiman Cieunteung sudah dilakukan sejak 2013. Satu hektare lahan warga sudah dibebaskan. 

Melalui informasi yang diperolehnya, pengukuran untuk pembebasan sisa lahan yang ada pun sudah dilakukan pada tahun ini. Namun, eksekusi terkendala oleh masyarakatnya sendiri yang menolak harga pemerintah.

Alasan lain adalah karena warga sudah terlalu lama tinggal di kampung itu. “Katanya, tanah nenek moyang,” katanya.

Sejak 2010, pemkab telah mencoba merelokasi warga. Pemkab yang saat itu dipimpin Bupati Obar Sobarna menawarkan relokasi dan transmigrasi. Namun, warga menolak. “Kalau dari dulu mau ganti rugi, mungkin sekarang sudah selesai,” kata Marlan.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement