Senin 23 Nov 2015 08:23 WIB

Mengupas Tuntas Peristiwa 10 November (Bagian 1)

Siswa memerankan drama kolosal Pertempuran 10 November.
Foto:

Pada halaman 147-149 buku itu tercantum copy dari koran Kedaulatan Rakjat, Yogyakarta, tertanggal 26 Oktober 1945, yang berjudul Toentoetan Nahdlatoel Oelama kepada Pemerintah Repoeblik Soepaja Mengambil jang Sepadan Resoloesi, lalu koran yang sama tertanggal 20 Nopember 1945 memuat berita berjudul Alim Oelama Menentoekan Hoekoem Perdjoeangan.

Pada buku itu, halaman 151 mencantumkan copy koran Merdeka tertanggal 12 Oktober 1945 yang menulis NICA Menganiaja Oemmat Islam Indonesia, lalu halaman 1976 ada copy koran yang sama tertanggal 23 Oktober 1945 yang berjudul Mosi Rakjat Moeslimin Keboemen.

Beberapa "copian koran Kedaulatan Rakjat dan Merdeka tentang pertemuan Resolusi Jihad tertanggal 21-22 Oktober 1945 di Surabaya hingga dampaknya ke Kebumen itu mampu 'membakar' semangat jihad dari pasukan nonreguler seperti Laskar Hizbullah, PETA, dan sebagainya yang selama ini dilatih Jepang.

Pada halaman 179-180 pada buku itu disebutkan bahwa heroisme kiai dinyatakan dalam Harian Warta Indonesia tertanggal 12 Nopember 1945, serta Harian Ra'jat tertanggal 14 Nopember 1945. Lain halnya dengan Kedaulatan Rakjat pada tanggal sebelumnya yang menulis orator Bung Tomo yang sering meminta nasehat KH Hasyim Asy'ari hingga tercetus kata-kata "Allahu Akbar..." untuk membakar jiwa.

Selain bukti dari pemberitaan media massa pada tahun 1945, pengamat sejarah NU Drs H Choirul Anam (Cak Anam) juga menunjuk bukti berupa cagar budaya peninggalan Resolusi Jihad, di antaranya gedung MBO (Markas Besar Oelama) di sekitar Waru, Sidoarjo, yang menjadi tempat berkumpulnya para ulama yang dipimpin KH Wahab Chasbullah untuk perjuangan 10 November 1945.

"Kami juga menemukan 'copy' Fatwa Rais Akbar PBNU KH Hasyim Asy'ari pada beberapa hari sebelumnya yakni hukum melawan NICA itu fardlu ain, mati dalam pertemuan melawan NICA adalah syahid, dan mereka yang memecah belah persatuan itu wajib dibunuh," kata Cak Anam.

Fakta-fakta sejarah tentang Resolusi Jihad itu agaknya mengungkap peran pesantren yang 'ditinggalkan' dalam buku Sejarah Nasional Indonesia, namun resolusi itu bukan fakta fiktif, sehingga pengakuan Hari Santri Nasional pada 22 Oktober itu tepat.

Tentu, fakta Resolusi Jihad itu perlu dimasukkan dalam buku sejarah atau kurikulum pendidikan nasional pelajar tingkat dasar dan menengah, seperti halnya 'perobekan bendera tri-warna' yang sudah cukup dikenal itu. (Bersambung/tulisan pertama dari empat tulisan).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement