REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- "Banyak (yang minta)," ucap Menteri Sosial Khofifah Indarparawansa saat ditanya Presiden Joko Widodo tentang alasan perlunya peringatan Hari Pahlawan 'harus' di Surabaya.
Dialog itu diungkap Mensos yang juga Ketua Umum Panitia Peringatan Hari Pahlawan Nasional 2015 itu dalam diskusi kepahlawanan bertajuk Kupas Tuntas Peristiwa 10 November yang diadakan Perum LKBN Antara di Surabaya, 9 November 2015.
Jawaban Mensos atas pertanyaan Kepala Negara itulah yang akhirnya mendorong Presiden memberi paraf untuk peringatan Hari Pahlawan di Tugu Pahlawan Surabaya yang berbeda dengan 'tradisi' selama ini yang selalu dipusatkan di Jakarta.
Selain mengungkap 'pengembalian' peringatan Hari Pahlawan ke Kota Pahlawan, diskusi yang antara lain dihadiri Sabrot D Malioboro (seniman/Pusura), Ismet (Arek Suroboyo dari Batak), Bambang Sulistomo (putra Bung Tomo), dan KH Hasib Wahab (Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang) itu pun mengupas tuntas Hari Pahlawan itu.
Dalam diskusi itu terungkap fakta-fakta yang sesungguhnya terjadi seputar tahun 1945 bahwa 'perlawanan' Arek-Arek Surabaya terhadap Tentara Sekutu yang dipimpin Inggris itu bukan hanya sekali tapi dua kali pertempuran, yakni pada 27-29 Oktober 1945 (tiga hari). dan puncaknya pada 10 November 1945 (3sampai 4 pekan).
Tidak hanya itu, ada pula tiga fakta yang 'memprovokasi' terjadinya perlawanan Arek-Arek Surabaya yang merepotkan Sekutu yang kedatangannya ke Surabaya pada 24 Oktober 2015 itu diboncengi Belanda yang ingin menjajah lagi.