REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia akan menunda pelaksanaan eksekusi terhadap para terpidana mati sampai perekonomian negara membaik. Hal ini telah ditegaskan oleh Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan.
Menanggapi hal itu, Pakar Hukum Yenti Garnasih mengatakan, kebijakan tersebut terlalu mengada-ada, karena ekonomi dan hukuman mati tidaklah saling berkaitan.
"Itu terlalu mengada-ada, karena tidak saling berhubungan. Kalau ekonomi lemah bisa meningkatkan kejahatan itu baru berkaitan," kata Yenti saat dihubungi Republika.co.id, Jum'at (20/11)
Menurut dosen Universitas Trisakti tersebut, secara teoritis bahkan kebijakan itu tidak bisa diterjemahkan. Seharusnya, kata dia, yang justru lebih relevan dengan perekonomian saat ini adalah korupsinya diberantas, perijinan dipangkas, dan menindak tegas penyuapan.
"Masak hanya karena itu hukuman mati ditunda, padahal banyak yang bisa berdampak pada ketegangan," ujarnya.
Pada awal tahun, Indonesia memang bersitegang dengan beberapa negara, sehingga mempengaruhi hubungan dagang dan investasi dari negara bersangkutan. Dengan demikian, ekonomi menjadi buruk, dan saat ini membuat pemerintah menjadi plin-plan dalam menegakkan hukuman mati tersebut.
Sejak ditetapkannya hukuman mati untuk bandar narkoba ini, Kejaksaan Agung telah mengeksekusi sebanyak 14 terpidana mati. Australia, Brazil, Filipina adalah negara yang paling menentang terhadap kebijakan tegas Indonesia tersebut.