Selasa 17 Nov 2015 18:51 WIB

Cerita ‘Penumpang Gelap’ KM Wihan Sejahtera

Rep: Andi Nurroni/ Red: Andi Nur Aminah
Sejumlah korban KM Wihan Sejahtera tujuan Pelabuhan Bajo, NTT, yang tenggelam di Teluk Lamong menjalani perawatan di Rumah Sakit PHC Surabaya, Jawa Timur, Senin (16/11). (Antara/Zabur Karuru)
Sejumlah korban KM Wihan Sejahtera tujuan Pelabuhan Bajo, NTT, yang tenggelam di Teluk Lamong menjalani perawatan di Rumah Sakit PHC Surabaya, Jawa Timur, Senin (16/11). (Antara/Zabur Karuru)

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Karut-marut administrasi pelayaran KM Wihan Sejahtera terus didalami. Keberadaan para penumpang yang tak tercatat resmi dalam kapal yang tenggelam di perairan Teluk Lamong, Surabaya, Senin (16/11), menimbulkan tanda tanya. 

Kepala Syahbandar Utama Pelabuhan Tanjung Perak Kapten Rudiana menyampaikan, hasil pendataan akhir, penumpang dan awak kapal berjumlah 212 orang. Angka tersebut diakuinya berbeda dengan yang tertera pada formulir data penumpang atau manifest. (Baca Juga: Penumpang KM Wihan tak Tercatat di Manifest).

Dalam formulir data penumpang yang didapatkan wartawan, jumlah penumpang resmi kapal tesebut adalah 27 orang. Sementara awak kapal berjumlah 25 orang. 

“Kami masih mengumpulkan data-data dan bukti-bukti soal ini,” ujar Rudi kepada wartawan di kantor Syahbandar Utama Tanjung Perak, Selasa (17/11).

Anang, staf Bagian Penjagaan, Patroli dan Penyidikan (P3) Syahbandar Utama Tanjung Perak mengakui lemahnya administrasi angkutan kapal. Menurut dia, perusahaan pemilik kapal jenis roll-on/roll-off atau ro-ro, yang muatan utamanya adalah kendaraan-kendaraan angkutan, kerap tidak mencatat penumpang mereka.

“Mereka itu berlomba kasih servis. Kadang sopir, kernet itu digratiskan. Sayangnya mereka tidak didata. Kalau sudah begini kan repot,” ujar Anang kepada Republika.co.id di Pelabuhan Tanjung Perak.

Selain faktor perusahaan, Anang mengatakan, para sopir kadang sengaja membawa penumpang, lalu diakuinya sebagai kernet atau saudara. Hal itu dilakukan agar bisa mendapatkan pelayanan gratis. Tidak menutup kemungkinan, menurut Anang, ongkos para penumpang itu masuk ke kantong para sopir sendiri. 

Selain membawa 'penumpang gelap', Anang menjelaskan para sopir juga sering membawa muatan tambahan di luar muatan yang tercatat resmi di perusahaan ekspedisi yang mempekerjakan mereka. Akibatnya, tak jarang volume muatan melebihi ukuran yang ditentukan.

“Alasannya mereka cari uang makan. Kalau ditegur, mereka protes. Kendaraannya bisa ditinggalkan di jalan untuk menghalangi yang lain. Terus terang, kami menghindari konflik,” ujar Anang. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement