Selasa 17 Nov 2015 01:01 WIB

Sekolah Alam di Tumpukan Sampah Bantargebang

 Pemulung memilah sampah yang akan diambil di TPST Bantar Gebang,Bekasi, Jawa Barat, Kamis (5/11).
Foto:
Kendaraan pengangkut sampah melintas di TPST Bantar Gebang,Bekasi, Jawa Barat, Kamis (5/11).

Terciumnya bau tidak sedap di lingkungan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang tidak mengurangi rasa semangat anak-anak Sekolah Alam Tunas Mulia untuk menuntut ilmu. Senyuman terus terukir dari bibir mereka dan teriakan keceriaan saat tiba di lingkungan sekolah.

Lokasi sekolah yang tidak jauh dari gunung sampah ini sering kali mencium aroma tidak sedap. Namun, hal ini tidak menjadi masalah bagi mereka untuk tetap belajar dan bermain.

Siapa lagi kalau bukan mereka, para pemulung yang tinggal tidak jauh di bawah bukit sampah. Bau dan kotor sudah biasa bagi mereka. Berniat memperbaiki nasib, mereka hijrah dari kampung halamannya yang terkadang jauh di luar Jawa Barat.

Sanan, pria kelahiran Purworejo, Jawa Tengah hijrah bersama keluarga ke Bantargebang sejak 2009 untuk mengubah nasib ekonomi yang lebih baik, namun setelah sampai di sana yang Sanan rasakan bersama keluarga tidak jauh beda saat ia mencari rezeki di kampung halamannya.

Dia mempunyai dua orang anak perempuan, mereka berusia empat dan sepuluh tahun. Anak-anak Sanan merasakan ada pembedaan antara penduduk asli Bantargebang dengan penduduk pindahan yang kebanyakan sebagai pemulung.

Akibatnya, mereka pun jarang bermain dan bersosialisasi dengan anak-anak penduduk asli Bantargebang. Satu-satunya tempat mereka bermain yaitu di bawah tumpukan gunung sampah bersama anak-anak pemulung lainnya.

Sanan sendiri memutuskan untuk menyekolahkan anaknya di Tunas Mulia, karena selain tidak membutuhkan biaya, latar belakang siswanya sama yaitu dari keluarga pemulung.

Adalah Derin Kapuspita Sari, anak dari Sanan, salah satu siswi sekolah Tunas Mulia yang saat ini duduk di kelas 4 SD. Derin mengaku dirinya ingin bersekolah di sekolah formal, namun karena keterbatasan biaya akhirnya dia bersekolah di Tunas Mulia.

"Senang sekolah disini, tapi aku juga mau ada bangkunya kayak sekolah lain," ujar Derin.

Derin juga mengatakan seringkali dia harus bolos sekolah karena membantu orang tuanya memulung sampah. Masyarakat Bantargebang, Bekasi yang notabenenya adalah pemulung tidak mempunyai pilihan lain bahkan sampai kapan mempertahankan profesi ini.

Meskipun mata pencaharian orang tua siswa-siswi Sekolah Alam Tunas Mulia mayoritasnya adalah pemulung, itu semua tidak menyurutkan semangat mereka untuk tetap menuntut ilmu dan menjadikan pendidikan sebagai prioritasnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement