Jumat 20 Oct 2023 21:23 WIB

Bantargebang Bisa Jadi Sumber Pendapatan Daerah, Ini Caranya

Bantargebang bisa memperoleh pendapatan dari RDF yang dijual ke pabrik semen

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Staf Khusus Presiden, Diaz Hendropriyono, meninjau langsung teknologi RDF yang ada di Bantargebang.
Foto: Dok istimewa
Staf Khusus Presiden, Diaz Hendropriyono, meninjau langsung teknologi RDF yang ada di Bantargebang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat, mempunyai teknologi pengolahan sampah menjadi bahan bakar alternatif atau refused derived fuel (RDF). Dengan statusnya yang telah menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), Bantargebang disebut punya kesempatan untuk menghasilkan pendapatan daerah.

“Bantargebang bisa memperoleh pendapatan dari RDF yang dijual ke pabrik semen. Lalu saat emisi sudah bisa dihitung, bisa dikreditkan. Jadi prestasi dari pengelolaan sampah,” kata Staf Khusus Presiden, Diaz Hendropriyono, lewat keterangannya, Jumat (20/10/2023).

Hal tersebut dia sampaikan ketika meninjau langsung teknologi RDF yang ada di Bantargebang. Pada kesempatan itu, Diaz berharap agar hitungan emisi yang dihasilkan dari pemrosesan sampah dengan teknologi tersebut dapat didaftarkan sebagai kredit karbon.

"Jika nantinya pengolahan RDF oleh TPST Bantargebang sudah ada hitungan emisinya, bisa dibandingkan dengan emisi jika sampah hanya tertimbun di TPA. Hitungan ini bisa didaftarkan sebagai kredit karbon.” kata Diaz.

Diaz berdiskusi langsung dengan Kepala Satuan Pelaksana Pemrosesan Akhir Sampah Bantargebang Setyo Margono. TPST yang sudah beroperasi selama 34 tahun dengan tumpukan sampah setinggi 50 meter itu ditargetkan untuk dapat mengelola 2.000 ton sampah setiap harinya menjadi RDF.

Sementara itu, Kepala Satuan Pelaksana Pemrosesan Akhir Sampah Bantargebang Setyo Margono menyatakan, pihaknya akan mendiskusikan saran tersebut. Di mana saran itu menginginkan agar TPST Bantar Gebang mulai menghitung pengurangan emisi yang dilakukan.

Perdagangan karbon di Indonesia akhirnya diresmikan melalui bursa karbon yang diluncurkan, Selasa (26/9/2023). Keberadaan perdagangan karbon sebagai komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara nasional.

Perdagangan karbon melalui bursa merupakan jual beli sertifikat atau izin untuk menghasilkan karbon dioksida dalam jumlah tertentu. Dalam prakteknya, sertifikat ini juga disebut kredit karbon.

Satu kredit karbon setara dengan pengurangan satu ton karbon dioksida dari pembakaran, yakni bahan bakar fosil, batu bara, gas, minyak bumi, hingga sampah.

Dalam tertulis Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK), Rabu (27/9/2023), Plt Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari KLHK Agus Justianto mengatakan, karbon memiliki nilai ekonomi dan dimensi internasional dalam pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan.

Untuk mencapai target nasional, sektor kehutanan berkomitmen untuk mencapai penurunan emisi GRK sebesar 140 juta ton CO2e pada tahun 2030. "Pendekatan yang dapat digunakan untuk mendukung pengendalian perubahan iklim dengan melalui Nilai Ekonomi Karbon (NEK), termasuk perdagangan karbon," kata Agus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement