Jumat 06 Nov 2015 07:58 WIB

SE Kapolri untuk Apa dan Siapa?

Rep: c35/ Red: Andi Nur Aminah
Penjara/ilustrasi
Foto: pixabay
Penjara/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat harus kritis dalam melihat surat edaran (SE) Ujaran Kebencian Kapolri. Hal itu disampaikan Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya karena baginya substansi SE tersebut potensial melahirkan masalah dalam kehidupan sosial politik masyarakat. 

Dia meyakini, masyarakat yang bermoral beradab adalah dambaan semua orang di Indonesia. Dan, tatanan beradab membutuhkan piranti berupa norma-norma adat atau dalam wujud regulasi.

Namun, dia mengatakan, sebuah ketentuan regulasi tidak boleh mengebiri hak-hak dasar masyarakat untuk melakukan kritik atau amar makruf nahi mungkar kepada penguasa atau sesama anggota masyarakat.

Sementara itu, menurut dia, SE Kapolri bukan regulasi atau norma hukum. Itu menjadi tuntunan teknis bagi pihak aparat keamanan untuk menghadapi persoalan terkait ujaran kebencian. 

Dia meyakini, justru di sinilah titik krusialnya karena SE itu potensial melahirkan blunder hukum dalam kehidupan sosial politik masyarakat. Karena, sesungguhnya, Harits menilai, SE bukan regulasi dan norma.

"Di samping soal substansi SE terkait diksi 'ujaran kebencian' atau diksi 'kebencian' dan 'menyebarkan kebencian' itu sangat ambigu, tafsirnya bisa sangat subjektif tergantung kepentingan. Terlebih lagi, objek jangkauannya yang begitu luas, semisal, untuk para khatib/pengkutbah, pengajian, ceramah agama, dakwah di media cetak maupun media online tentu ini akan melahirkan problem baru," katanya kepada Republika.co.id, Kamis (5/11).

Menurut Harits, kalau melihat munculnya SE dalam konteks konstalasi politik kenegaraan yang sedang didera banyak masalah dan bisa dikatakan kondisi status quo cukup kritis maka SE ini tampak sekali diboncengi motif kepentingan politik status quo itu. Status quo yang baginya bernafsu menjelma menjadi rezim otoriter dengan alasan membangun peradaban.

Selain itu, Harits juga menegaskan jika benar motifnya adalah membangun peradaban kehidupan sosial politik bermasyarakat maka tidak cukup dengan soal ujaran kebencian yang harus di bereskan. Tapi, juga ujaran kebohongan, ujaran penipuan, ujaran penyesatan publik dan lainya perlu disasar baik aktornya adalah penguasa, politikus, kelompok, maupun individu.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement