REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pemerintah pusat dinilai lalai membiarkan adanya peraturan daerah yang melanggar Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dalam UU itu pasal 69 ayat (2) disebutkan pembukaan lahan yang diperbolehkan hanya maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.
“Akan tetapi pada kenyataannya saat ini ada peraturan Gubernur yang memperbolehkan pembukaan lahan lebih dari 2 hektare. Hal inilah yang menyebabkan bencana kabut asap hingga berlarut-larut,” terang aktivis Forest Watch Indonesia Dr Togu Manurung, Senin (2/11).
Ia mengatakan, kelalaian pemerintah tersebut menyebabkan sudah lebih dari 120 hari masyarakat terpapar kabut asap yang telah meluas ke negara tetangga.
“Ini tentunya mempermalukan kita secara gamblang,” kata Togu.
Togu menerangkan bahwa ada empat akar masalah dalam kebakaran hutan di Indonesia. Yang pertama, dari sisi pengelolaan hutan yang sejauh ini masih jauh diharapkan. Kedua, praktik pembakaran yang dilakukan oleh warga secara sengaja. Ketiga, supremasi penegakan hukum yang masih lemah serta kelalaian pemerintah.
Untuk mencegah agar kebakaran hutan dan lahan tidak semakin meluas, menurut Togus, langkah yang harus diambil pemerintah adalah mempertimbangkan kemungkinan memperkarakan pemerintah daerah yang nyata-nyata melegalisasi pembakaran lahan.
“Pemerintah segera mengusut dan mempertimbangkan untuk juga memperkarakannya secara hukum atas dasar kelalaian,” urainya.
Hal senada juga diungkapkan oleh aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nurhidayati. Moratorium yang dilakukan pemerintah untuk mencegah kebakaran hutan, dinilainya, tidak cukup tanpa diimbangi oleh penegakan hukum yang tegas dan penertiban perda yang memperbolehkan membuka lahan yang melebihi ketentuan undang-undang.
Walhi sendiri menemukan adanya lonjakan izin yang dikeluarkan pemerintah daerah terhadap pembukaan lahan pada saat menjelang pemilihan kepala daerah.
“Kami menduga pemberian izin ini merupakan bagian dari transaksi politik untuk dana kampanye. Pemerintah dituntut untuk melakukan audit kepatuhan di daerah-daerah yang menjadi pusat titik api, yaitu apakah ijin pembukaan lahan sudah sesuai atau tidak,” tegas Nur.