Ahad 01 Nov 2015 07:47 WIB

Pastikan Beli Furnitur dari Produk Kayu Legal

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Ani Nursalikah
Pekerja sedang menyelesaikan pembuatan furniture di KaliBaru, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (25/9).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Pekerja sedang menyelesaikan pembuatan furniture di KaliBaru, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (25/9).

REPUBLIKA.CO.ID, GIANYAR -- Indonesia merupakan eksportir terbesar ketiga di dunia untuk produk kertas, kayu, dan furnitur kayu. Industri ini mempekerjakan setidaknya tiga ribu angkatan kerja.

Meski demikian, capaian tersebut mengakibatkan deforestasi hutan di Indonesia juga kian meluas. Perwakilan Trees 4 Trees dari Yayasan Bumi Hijau Lestari, Devi Silvia mengatakan konsumen di dunia perlu mengetahui legalitas dari produk-produk kayu atau berbasis kayu yang mereka beli.

"Sebelum membeli produk, tanyakan, apakah produk ini sudah tesertifikasi alias legal?" katanya dijumpai Republika.co.id akhir pekan lalu.

Di tengah gelaran Ubud Writers and Riders Festival di Bali akhir pekan lalu, Trees 4 Trees mengajak masyarakat lokal dan internasional berkontribusi mengadopsi pohon di Indonesia. Sejumlah pengunjung yang merupakan warga negara asing (WNA) ikut berkontribusi.

Setiap orang bisa mengadopsi pohon, secara individual atau korporasi. Biayanya pun terjangkau, yaitu Rp 75 ribu atau 5,5 dolar AS untuk lima pohon, Rp 125 ribu atau 9,2 dolar AS untuk 10 pohon, dan Rp 200 ribu atau 14,8 dolar AS untuk 200 pohon. Pengadopsi akan mendapatkan World Identification Number (WIN) sehingga bisa mengetahui perkembangan pohon adopsinya secara online.

Sejak 2014, Trees 4 Trees memberdayakan komunitas lokal dalam pelestarian lingkungan, khususnya menanam pohon. Hingga saat ini, kata Devi sudah lebih dari 1,3 juta pohon ditanam di 14 wilayah di Jawa Tengah.

Legalitas kayu menjadi perhatian utama dalam setiap pembelian produk berbasis kayu oleh konsumen dunia. Indonesia sendiri menggunakan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Ida Bagus Putera Phartama mengatakan SVLK terbilang murah karena bisa diproses dengan sistem kelompok. Biaya sertifikasi yang dikeluarkan pelaku usaha, khususnya usaha mikro kecil menengah (UMKM) mencapai Rp 25-30 juta.

"Sertifikasi tersebut berlaku selama enam tahun atau setara lima juta rupiah per tahun," kata Phartama.

Pelaku usaha bisa mendaftar dalam bentuk grup, maksimal enam anggota. Pemerintah juga akan menyediakan pendampingan.

Meski SVLK saat ini hanya menjadi opsi bagi pelaku usaha, menyusul terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 66/2015, Phartama menilai sertifikasi ini tetap diperjuangkan. Negara-negara tujuan ekspor dunia untuk produk kayu rata-rata menyaratkan legalitas kayu.

Jika SVLK tak diimplementasikan, negara-negara seperti Malaysia, Vietnam, Thailand, Myanmar, dan Cina akan mengambil pasar Indonesia. Negara-negara tersebut saat ini justru sedang menjajaki sistem serupa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement