Jumat 30 Oct 2015 15:41 WIB

DPR Pertanyakan Tujuan Jokowi Kunjungi Bos Rokok di AS

Rep: C14/ Red: Nur Aini
Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf.
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam lawatannya ke Amerika Serikat (AS), Senin (26/10) lalu, Presiden Joko Widodo menyaksikan kesepakatan bisnis antara para pengusaha Indonesia dan pengusaha AS. Di antara sejumlah kesepakatan tersebut, ada yang mencakup ekspansi perusahaan rokok Phillip Morris senilai 1,9 miliar dolar AS. Perinciannya, 500 juta dolar AS untuk belanja modal dan 1,4 miliar dolar AS berupa penerbitan saham baru Sampoerna. 

Bahkan, dana tersebut juga dialokasikan sebagai belanja modal untuk perluasan pabrik dan perkantoran, serta investasi dalam kurun 2016-2020.

Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf mendesak pemerintah untuk cermat dalam mendukung kesepakatan bisnis dengan korporasi rokok. Apalagi, yang dihadapi ialah raksasa bisnis AS yang hingga kini merajai pasar rokok di Tanah Air. 

Terhadap kesepakatan bisnis yang melibatkan Phillip Morris, Dede mendesak pemerintah agar tidak membiarkan Indonesia menjadi sasaran pasar rokok. 

"Kita mesti lihat dulu. Pasarnya jangan ke Indonesia. Sebab, kalau pasarnya ke Indonesia, artinya percuma kita tinggikan anggaran kesehatan kalau terus kemudian masyarakat kita dibebankan lagi dengan bahaya rokok," ucap Dede Yusuf saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (30/10). 

Politikus Partai Demokrat itu mengakui, manuver perusahaan-perusahaan rokok cukup kencang di legislatif, setidaknya dalam 10 tahun terakhir. Hal itu misalnya, sehubungan dengan draf RUU Pertembakauan atau pasal keretek pada RUU Kebudayaan.

Manuver korporasi-korporasi rokok di DPR, menurut Dede, belakangan ini menemui kendala. Sehingga, mereka berpaling untuk mendekati eksekutif dengan dalih penanaman dan pengembangan investasi. 

"Apabila sekarang manuvernya dilakukan melalui eksekutif, tentu kita DPR wajib bertanya, tujuannya apa. Kalaupun investasi, investasi yang mana?" kata Dede.  

Bagi Dede, keberadaan industri rokok di Indonesia masih memiliki sejumlah pertimbangan positif, seperti lapangan pekerjaan dan sebagainya. Namun, dia menegaskan, Indonesia jangan sampai menjadi konsumen utamanya.

"Jangan sampai Indonesia menjadi pasar murah, seluruh rokok dari luar negeri itu dia masuk dan buat pasar Indonesia. Ini yang bahaya," ungkap dia. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement