REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) menegaskan bahwa profesor bukan gelar akademik melainkan jabatan tertinggi yang diraih oleh dosen.
"Profesor bukan gelar akademik melainkan jabatan tertinggi yang diraih oleh dosen. Jadi jika ada orang yang mendapatkan gelar profesor, maka itu tidak benar," ujar Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek Dikti Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti), Ali Ghufron Mukti, di Jakarta, Kamis (29/10).
Untuk bisa mendapatkan jabatan profesor, lanjut dia, seorang dosen harus mengajar selama 10 tahun atau meraih nilai kredit mencapai 1.000. Sayangnya, masih banyak masyarakat yang salah kaprah mengenai profesor tersebut.
Sehingga tak jarang, yang rela merogoh kocek dalam-dalam hanya untuk mendapatkan profesor di depan namanya. "Oleh karena itu, kami mengadakan seminar yang membahas mengenai makna dan filosofi profesor. Tujuannya, agar masyarakat tak salah kaprah lagi menilai profesor," kata dia.
Guru Besar Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Prof Dr Sofian Effendi, menegaskan bahwa pemberian gelar profesor kehormatan semestinya tidak ada. "Semestinya tidak ada. Kalau doktor honoris causa ada, namun profesor tidak ada. Seandainya ada dari luar negeri, pastinya bukan berasal dari perguruan tinggi ternama," kata Sofian.
Saat ini, lanjut Sofian, terdapat kurang lebih 5.300 profesor di Tanah Air. Jumlah tersebut dinilai masih sangat kurang jika dibandingkan jumlah program studi yang mencapai 22 ribu. Hal itu menyebabkan banyak program studi yang tidak dikepalai oleh profesor.
"Itu menjadi sebab mengapa pada perankingan internasional kita selalu peringkat bawah," tukas Sofian.