REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia dipandang gagal membuat peraturan dan pengendalian produksi tembakau untuk rokok. Akibatnya, epidemi tembakau belum kunjung terkendali.
Peneliti dari Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC) Fauzi Ahmad Noor menjelaskan, faktor utama penyebab kondisi tersebut yakni absennya kemauan politik pemerintah yang kemungkinan besar diintervensi kepentingan para pemilik industri rokok.
"Mereka selalu berdalih, rokok kretek adalah bagian dari warisan, jika ditekan maka akan berdampak buruk pada petani tembakau, pekerja pabrik, pedagang, padahal itu semua tidak benar," katanya dalam diskusi publik soal Diseminasi Hasil Penelitian Persepsi Petani dan Mantan Petani Tembakau terhadap Pertanian dan Pengendalian Tembakau, Rabu (28/10).
MTCC yang beranggotakan Universitas Muhammadiyah (UM) Yogyakarta, UM Magelang dan UM Mataram telah melakukan survei di tiga provinsi penghasil utama tembakau Indonesia yakni Jawa Timur, Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat. Survei dilakukan dalam periode Juni-Juli 2015.
Berdasarkan hasil penelitian, lanjut dia, para petani umumnya tidak hanya mengandalkan satu jenis tanaman. Tembakau merupakan tanaman alternatif dan tidak dilihat petani sebagai tanaman yang menguntungkan. Melihat situasi tersebut, ada kecenderungan petani tembakau beralih ke jenis tanaman lain.
Di sisi lain, besar kecilnya keuntungan tembakau sangat dipengaruhi oleh cuaca, pasar dan monopoli infuatri tembakau. Selain itu, rendahnya harga rokok di Indonesia berarti rendahnya pajak dan murahnya tenaga kerja serta bahan baku.
Penelitian tersebut pun menelurkan sejumlah rekomendasi. Di antaranya pemerintah Indonesia harus membuat peraturan tentang pengendalian tembakau yang kuat dan menyetujui Kerangka Konvensi Organisasi Kesehatan Dunia Tentang Pengendalian Tembakau (WHO FCTC).
"Itu ditindaklanjuti dengan pemberian bantuan kepada mantan petani tembakau yang akan dan sudah beralih tanam melalui serangkaian insentif," katanya.