Rabu 28 Oct 2015 17:04 WIB

HMI: Kerangka Kebijakan Kepemudaan Nasional Sudah Mendesak (1)

Bonus demografi memerlukan kebijakan kepemudaan yang tepat.
Foto: Republika/Yasin Habibi
Bonus demografi memerlukan kebijakan kepemudaan yang tepat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa tahun belakangan diskursus tentang “Bonus Demografi” sedang naik daun di dalam negeri. Banyak di antara pejabat publik di republik ini yang mengungkapkan optimismenya akan masa depan Indonesia yang lebih baik mengingat rendahnya rasio ketergantungan akibat besarnya jumlah angkatan kerja yang dimiliki Indonesia.

Kondisi demografis ini berpotensi menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dan perbaikan pada kualitas sumber daya manusia. Menurut lembaga demografi FE-UI Rasio ketergantungan ini akan mencapai puncaknya pada tahun 2020-2025 dengan menyentuh angka 0, 46 yang artinya dari 100 orang produktif hanya menanggung 46 orang yang tidak produktif.

Ketua Balitbang PB HMI M  Ardiansah Laitte menerangkan bahwa, bonus demografi ini dapat menjadi “window of opportunity” jika pemerintah membuat Kebijakan Nasional Kepemudaan yang terintegrasi dan melibatkan semua stakeholder dari lintas sektor yang berbeda.

 

“Harmonisasi kebijakan ini haruslah memperhatikan laju pertumbuhan dan sebaran penduduk, tingkat pendidikan dan produktivitas, serta akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Dan tidak lupa pula adanya partisipasi publik dalam proses politik di Indonesia,” kata Ardiansah.

Ia mengemukakan hal tersebt  dalam Publikasi Hasil Penelitian Evaluasi 1 Tahun Kinerja Pemerintahan Jokowi-JK dalam Pemanfaatan Bonus Demografi, Revolusi Mental, dan Pembangunan Kepemudaan yang dilaksanakan di Sekretariat PB HMI, Jakarta, Rabu (28/10).

Ia menambahkan, kebijakan ini bertujuan untuk memastikan setiap pemuda di Indonesia terbuka peluangnya untuk menjadi tenaga kerja yang produktif sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja di masa yang akan datang.

 

Hal ini, kata Ardiansah, senada dengan Laporan World Development 2007 dari Bank Dunia yang menjelaskan bahwa negara-negara berkembang yang berinvestasi pada bidang pendidikan, kesehatan, dan pelatihan kerja untuk penduduk di usia 12-24 tahun dapat memperoleh hasil dari bonus demografi melalui peningkatan ekonomi dan pengurangan tingkat kemiskinan.

 

“Kebijakan Kepemudaan Nasional yang terintergrasi menjadi sangat mendesak karena hingga 1 tahun masa pemerintahan Jokowi-JK, kita belum menemukan perbaikan yang signifikan dari permasalahan – permasalahan kepemudaan,” ujar Ardiansah.

Menurut Ardiansah, Kementerian Pemuda dan Olahraga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pembangunan kepemudaan tidak cukup mumpuni dalam menghadapi kompleksnya masalah yang muncul. Misalnya,  tingkat pengangguran pemuda yang tinggi (75,7 persen atau  5,5 juta jiwa) dari total tingkat pengangguran terbuka  dibarengi dengan rendahnya akses pendidikan dan kesehatan.

Hal lain, sebaran pemuda yang tidak merata (79,15 persen  masih terkonsentrasi di pulau Jawa dan Sumatera), serta rendahnya partisipasi pemuda dalam proses politik di Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement