REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan nilai kurs dan indeks saham suatu negara tak dapat dijadikan sebagai indikator kemajuan perekonomian negara tersebut. Menurut dia, kemajuan suatu bangsa justru diukur dari tinggi atau rendahnya tingkat lapangan kerja.
"Akhir-akhir ini sering kita mengukur ekonomi kita dengan ukuran nilai rupiah. Kita merasa bahwa itu baik buruknya ekonomi kita. Atau kadang-kadang juga kita melihat indikatornya ialah indeks saham. Jadi ukuran ekonomi itu bukan indeks saham, tapi lapangan kerja," kata JK saat memberikan pengarahan di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Jakarta, Kamis (22/10).
JK mengatakan, kondisi perekonomian Amerika sempat menurun karena target penyerapan tenaga kerja tak dapat tercapai. Awalnya, ia mengatakan Amerika memproyeksi sebanyak 400 ribu tenaga kerja dapat terserap, namun ternyata jumlah tenaga kerja yang terserap hanya 250 ribu.
Oleh karena itu, tingginya tingkat pengangguran di tanah air mengindikasikan melemahnya kondisi perekonomian. Indikator tingkat perekonomian tersebut tak hanya dipakai di Indonesia, namun juga Amerika.
"Karena tujuan kita selalu ingin memberi kesejahteraan, dan itu hanya orang yang bekerja, kalau menganggur bagaimana mau sejahtera," kata JK.
Lebih lanjut, ia mengatakan kondisi keuangan suatu negara merupakan imbas dari permasalahan lapangan kerja. Ia pun kembali menekankan, pelemahan ekonomi yang terjadi di tanah air tak hanya disebabkan oleh faktor internal, namun juga faktor eksternal yakni kondisi ekonomi di Amerika dan Cina.
Pelemahan ekonomi di dua negara tersebut berimbas pada menurunnya permintaan komoditas, sehingga juga mempengaruhi harga komoditi. Kondisi ini juga diperburuk dengan adanya El Nino yang terjadi beberapa bulan terakhir. Kendati demikian, JK mengklaim pemerintah masih dapat mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut.
Ia mengatakan kondisi perekonomian yang melemah saat ini berdampak pada jumlah tenaga kerja di berbagai bidang.
"Paling banyak di bidang pertanian 34%, lalu bidang perdagangan jasa dsb 22%, sosial dll 16% baik industri 13%. Ini artinya semua bidang harus ditingkatkan untuk memberi dampak besar terhadap tenaga kerja," jelasnya.
Menurut dia, jumlah lapangan kerja di bidang pertanian tercatat mengalami penurunan tiap tahun, yang sebelumnya mencapai 40 persen, kini jumlah tersebut hanya mencapai 34 persen. Hal ini disebabkan karena lahan pertanian yang semakin menurun yang kemudian berimbas pada jumlah produktifitas.
Lebih lanjut, JK juga menilai pemerintah tak bisa menghindari terjadinya urbanisasi, sehingga diperlukan peningkatan investasi di bidang industri guna menyerap tenaga kerja. Penghasilan yang akan didapatkan masyarakat pun dinilainya juga akan meningkat dua kali lipat.
"Lapangan kerja di pertanian apapun akibatnya akan menurun, persentasenya. Kalau pertanian berhasil artinya tenaga kerja akan menurun, orang akan intensifikasi dan orang yang bekerja di pertanian akan menurun. Kalau pertanian gagal juga akan menurun yang bekerja, akan pindah ke kota," katanya.
Oleh karena itu, ia meminta Kementerian Tenaga Kerja untuk melatih dan meningkatkan kualitas tenaga kerja serta mendorong terbukanya lapangan kerja.