Kamis 15 Oct 2015 21:27 WIB

Program Bela Negara tak Sesuai dengan Ancaman Keamanan Nasional

Rep: Reja Irfa Widodo/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Seorang siswa SMA diajarkan disiplin oleh anggota saat mengikuti pendidikan bela negara di Markas Kodim 0712, Kabupaten Tegal, Jateng ( ilustrasi)
Foto: Antara/Oky Lukmansyah
Seorang siswa SMA diajarkan disiplin oleh anggota saat mengikuti pendidikan bela negara di Markas Kodim 0712, Kabupaten Tegal, Jateng ( ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kementerian Pertahanan (Kemenhan) berencana untuk membentuk 100 juta kader Bela Negara dalam 10 tahun. Pembentukan ini dimaksudkan untuk kembali menumbuhkan rasa cinta Tanah Air dan nasionalisme.

Namun, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menilai, penanaman rasa cinta Tanah Air dan nasionalisme sebenarnya tidak perlu dilakukan melalui program pembentukan kader Bela Negara. Upaya menumbuhkan rasa nasionalisme bisa dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan, atau bahkan di lembaga pendidikan politik.

''Nasionalisme, rasa cinta Tanah Air, dan wawasan kebangsaa, ditanamkan melalui penguatan pendidikan kewarganegaraan. Bisa saja, selain dilakukan di sekolah-sekolah formal, pendidikan birokrasi, pembekalan penyelenggara negara, bahkan di sekolah partai politik,'' kata Khairul kepada Republika saat dihubungi, Kamis (15/11).

Rencananya, pelatihan kader Bela Negara itu akan dilakukan di Rindam setempat dan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Bela Negara Kemenhan. Dalam kurikulum pelatihan tersebut, peserta akan diberikan berbagai materi, antara lain penamanam nilai Bela Negara dan pemantapan fisik dan psikis.

Khairul pun menilai, dengan menilik ancaman yang dihadapi saat ini hingga masa mendatang, pendekatan militeristik justru tidak akan relevan. Pasalnya, ancaman terhadap keamanan nasional pada masa mendatang justru bersifat nirmiliter.

''Untuk mengantisipasi potensi disintegrasi, intervensi asing, lunturnya identitas kebangsaan maupun ancaman perang hibrida yang meliputi proxy war dan assymetric war, tidak tepat jika melalui pendekatan mililteristik,'' kata Khairul.

Ancaman-ancaman seperti ini, lanjut Khairul, justru lebih tepat jika didekati dengan pendekatan kesejahteraan bagi masyarakat yang ditopang oleh komitmen serius penyelenggara negara. ''Terutama dalam hal kemandirian ekonomi, penegakan hukum, ketertiban umum, maupun tata kelola pemerintahan yang baik,'' ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement