Senin 12 Oct 2015 13:04 WIB
Tijah Istri Almarhum Salim Kancil

Saya Minta Keadilan Sama yang di Atas

Tijah (menggendong cucunya) isteri Salim Kancil.
Foto: Republika/Andi Nuroni
Tijah (menggendong cucunya) isteri Salim Kancil.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Andi Nuroni

Baru-baru ini, Republika.co.id, berkesempatan mewawancarai Tijah, isteri almarhum Salim Kancil. Berikut petikan wawancanya dalam bentuk tanya jawab.

Pak Salim Kancil telah pergi untuk selamanya. Apakah Ibu sudah bisa mengikhlaskan almarhum?

Ikhlas. Saya ikhlas, bahkan bangga. Banyak orang yang datang ke sini dari mana-mana. Saya cuman nunggu hukumnya saja. Harus tegas. Saya minta keadilan sama yang di atas (pemerintah dan penegak hukum). Pokoknya diusut sampai akhir. Jangan ada lagi tambang.

Kalau ada lagi, nanti ada korban lagi. Kalau pasir laut dikeruk terus, bisa bencana. Pak Presiden harus tahu, harus dimata-matai terus. Kalau orang kecil yang melawan, ya begini jadinya (seperti Salim Kancil).

Pak Salim Kancil berjuang menolak tambang dan sempat bilang rela mati. Apakah Ibu tidak khawatir?

Saya khawatir. Kubilang, "Sudahlah, enggak apa-apa (sawah) diambil daripada celaka." Kata dia, "Aku enggak ngejar harta, ngapain harta dikejar. Aku mau ngejar kebenaran."

Sawah itu, kata Pak Kancil, bukan karena sayang uang, tapi karena dulu (sawah itu) bikinnya susah payah, sampai enggak bisa jalan. Pak Kancil bilang enggak usah kuatir. Dia enggak kuatir. Dia bilang enggak takut.

"Aku ini mau berjuang kayak Bung Karno," katanya. Dia itu enggak takut sama sekali. Pokoknya, dia bilang, dia benar.

Sawah itu dibuat sendiri Pak Salim Kancil penuh perjuangan. Bagaimana ceritanya?

Suami saya kerja siang malam di sawah, dia terus menguruk rawa biar bisa ditanami. Dulu awalnya, (sawah) cuma segitu, segitu (memetakan dengan tangan, sekitar lima kali dua meter). Sampai 20 tahun, dia terus nguruk.

Sampai kakinya pernah bengkak lecet-lecet kena air sama pasir, sampai enggak bisa jalan. Itu karena kepengen sawah. Pas sawahnya sudah luas, terus sebagian ditukar sepeda (motor), ditukar rumah.

Bapak itu kerja keras, orang di sana saja (warga di sekitar rawa) enggak bisa bikin (sawah). Pak Kancil yang buat. Pak Kancil sama Pak Sapari (paman Salim Kancil) awalnya berdua.

Ketika masih punya sawah, Pak Salim Kancil kerja setiap hari di sawah?

Bapak biasanya sekali pergi sampai empat hari, kadang seminggu enggak pulang. Tiap hari saya anterin makan pakai sepeda onthel. Saya antar sama Dio (anak bungsu). Biasanya saya antar pagi, kalau selesai masak. (Makanan) itu buat siang sampai malam. Besoknya saya datang lagi, setiap hari. Pulang nganter makan, saya cari rumput buat kambing.

Bagaimana awalnya sawah Pak Salim Kancil diserobot sama tambang pasir?

Sawah itu awalnya diminta dua petak, katanya buat parkir montor (truk), dijanjikan (imbalan) Rp 2.000 per montornya. Sehari //kan// bisa sampai 300 (truk), ya lumayan. Akhirnya (sawah) dikasih. Awalnya (Salim Kancil) dikasih Rp 1 juta, habis itu enggak pernah dikasih lagi.

Dia minta lagi enggak pernah dikasih. Dia pernah bilang, "Dek, aku enggak punya uang sama sekali, aku mau ke Pak Inggi (sebutan kades dalam kultur keturunan Madura). Kalau dapat nanti dibelikan beras." Saya senang sekali karena waktu itu kita enggak punya beras.

Pas datang malam, aku bangun, kutanya, katanya enggak dapat. Katanya (Pak Kades) di Pak Desir, disusul ke Pak Desir, katanya di Pak Kades. Akhirnya Bapak malu, kayak ngemis begitu.

Bagaimana ceritanya sawah Pak Salim Kancil jadi enggak bisa ditanami semua?

Awalnya, sawah dua petak dijadikan parkiran. Terus petak-petak yang lain kena keruk. Terus yang lainnya kebanjiran air laut. Dari situ Pak Kancil punya tekad berjuang karena kesal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement