Sabtu 10 Oct 2015 09:12 WIB

Aktor Intelektual Tragedi Mina

Ambulans membawa jamaah haji korban insiden Mina.
Foto:
Almarhum Hamid Atwi Tarji Rofia, jamaah haji Indonesia korban insiden Mina pada Kamis (24/9).

Kepadatan yang lebih parah lagi sebenarnya terjadi ketika jamaah haji sedang melakukan tawaf, khususnya tawaf ifadah. Para jamaah hampir bisa disebut berimpitan. Kendati demikian, tidak ada jamaah yang terjatuh,  apalagi terinjak-injak. Sekiranya ada kecelakaan di mana salah satu jamaah terjatuh maka yang lain akan segera menolong. Oleh karena itu, tragedi jamaah terinjak-injak yang berulang kali di Mina itu tampaknya memang didesain oleh kelompok tertentu untuk kepentingan tertentu.

Di antara kepentingan itu, pertama, ingin memberikan kesan kepada dunia bahwa Pemerintah Kerajaan Arab Saudi tidak mampu menjamin keamanan para jamaah haji. Berikutnya adalah untuk memberikan rasa takut kepada umat Islam agar mempertimbangkan kembali niatnya untuk beribadah haji karena Mina adalah kuburan massal, siapa yang datang ke Mina sama artinya dengan menyetor nyawa.

Ronde berikutnya, seperti yang sudah tampak digelindingkan adalah munculnya pendapat bahwa kota suci Makkah harus dikelola secara internasional karena Makkah milik umat Islam. Apabila wacana ini menggelinding maka akan terjadi negara-negara Muslim saling berebut untuk mendapatkan kesempatan mengelola tanah suci Makkah.

Akhirnya, yang terjadi justru konflik antarumat Islam. Maka, sangat baik merenungkan kembali Protokol Zionisme nomor 7 yang menyatakan, "Untuk kawasan Eropa dan demikian pula benua-benua lain, kita wajib menciptakan konflik, mengobarkan api permusuhan dan pertentangan." Dalam kurun waktu paling lama 10 tahun, tidak mustahil, tragedi serupa akan terulang lagi karena memang sudah ada yang mendesain, kecuali apabila aktor intelektual dan kelompok jamaah haji yang selalu membuat keonaran di Tanah Suci itu tidak dizinkan lagi memasuki Arab Saudi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement