REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan pemerintah sejauh ini dinilai masih belum jelas dan konsisten dalam menindaklanjuti kaidah konstitusional dalam bidang kebudayaan. Dalam kehidupan majemuk yang ada di negeri ini ternyata masih saja ditemukan berbagai kendala.
''Bahwa rakyat Indonesia yng majemuk ini masih harus berjuang keras untuk memperoleh dan membela hak-haknya itu, bukan hanya hak sosial dan politik tetapi juga hak ekonomi. Khususnya hak atas tanah ulayatnya,'' kata Pontjo Sutowo, pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB), dalam diskusi Sejarah Peradaban dan Pancasila di Jakarta, Sabtu (3/10).
Pontjo mengatakan dalam beberapa kali kongres kebudayaan nasional memang sudah dibahas berbagai aspek kebudayaan nasional. Sayangnya tak ada saran dari kongres-kongres tersebut ditransformasikan menjadi kebijakan pemerintah, baik melalui lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif.
''Lebih merisaukan lagi adalah kecenderungan komersialisasi kebudayaan melalui media massa yang secara langsung dan tidak langsung telah merusak moral dan fisik generasi muda kita,'' ujarnya.
Pontjo kemudian menambahkan,''Peran kultural pemerintah dalam hal ini seyogyanya adalah mengurus, melayani dengan menggunakan managerial power.''
Sementara itu dalam sesi diskusi ketiga yang digelar oleh YSNB ini hadir juga Profesor Mas'ud Said dan Profesor FX Mudji Sutrisno. Dalam pemaparannya, Mas'ud menegaskan spiritualitas dan religiusitas menjadi dasar budaya masyarakat nusantara.
Sedangkan Romo Mudji mengatakan untuk menyadari makna kebudayaan itu melalui empat tahapan. Ia juga menyebutkan setiap sisi dehumanisasi dan dampak yang melecehkan serta menghancurkan kemanusiaan sesungguhnya menjadi musuh terhadap proses humanisasi kebudayaan.