REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai gerakan penyelamatan Sumber Daya Alam (SDA) di Jawa Barat masih lemah. Hal ini diduga akibat adanya aksi korupsi pada pemberian izin pengelolaan lingkungan.
Pimpinan KPK, Johan Budi mengatakan, pihaknya tidak bisa secara langsung menindak aksi pengurusakan lingkungan seperti ilegal logging, penambangan yang tidak sesuai kaidah pelestarian, dan lainnya.
Namun, kata Johan, aksi korupsi biasanya terjadi pada pengelolaan SDA. Hal ini disebabkan adanya kerja sama antara ekskutif dengan legislatif yang merubah ketegasan sebuah peraturana. Sehingga, membuka peluang terjadinya pengrusakan lingkungan.
"Kebanyakan aksi korupsi pengelolaan SDA itu terjadi pada pemberian izin," ujar Johan kepada wartawan, di Kantor Bappeda Jabar, Kamis petang (17/9).
Johan mencontohkan, kawasan hutan lindung kerap diubah menjadi kawasan yang bisa digunakan untuk kegiatan usaha tertentu. Aksi ini pasti diwarnai unsur suap kepada pejabat pembuat kebijakan.
Akibat aksi korupsi pada pengelolaan SDA, kata dia, terjadi kerusakan lingkungan yang sangat parah. Hal ini dapat dilihat di Jabar.
"Saya terperangah mengetahui kerusakan lingkungan di Jabar, padahal Jabar dalam bayangan saya masih asri," katanya.
Untuk mencegah aksi korpusi, kata dia, KPK melakukan evaluasi dan monitoring sejak 2014 lalu melalui Gerakan Nasional Penyelamatan Lingkungan dengan cara memotret pengelolaan SDA.
Johan menilai, monitoring pengelolaan SDA bukan pekerjaan mudah. Mengingat, terjadi kebijakan yang tidak singkron. Sebagai contoh, perizinan dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi, namun soal amdal berada di tangan kabupaten/kota. Hal ini akibat keberadaan UU 23 Tahun 2014 tentang Pemda.
"Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum mesti punya komitmen yang sama," katanya.