Selasa 15 Sep 2015 10:26 WIB

Ini Alasan ICW Minta Delik Korupsi Harus Dibuat di Luar RUU KUHP

 Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) membentangkan spanduk seruan anti korupsi di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (9/12). (Antara/Puspa Perwitasari)
Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) membentangkan spanduk seruan anti korupsi di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (9/12). (Antara/Puspa Perwitasari)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch Lalola Easter juga meminta pemerintah dan DPR agar mengeluarkan delik korupsi dan delik-delik lain yang termasuk dalam tindak pidana luar biasa, dari RUU KUHP.

"Delik tipikor perlu tetap dibuat di luar RUU KUHP karena sepatutnya RUU KUHP hanya mengatur tindak-tindak pidana yang bersifat umum (generic crimes). Jika ke depannya ada perkembangan modus atau bentuk tindak pidana korupsi, proses pembaharuan peraturannya akan sangat menyulitkan, manakala delik korupsi diatur dalam RUU KUHP," kata Lalola dalam pernyataan tertulis.

Menurut Lalola, memasukkan delik korupsi ke dalam RUU KUHP, akan menghilangkan sifat korupsi sebagi kejahatan luar biasa menjadi kejahatan biasa. "Hal ini juga berimplikasi pada kerja lembaga-lembaga independen yang kewenangannya diatur dalam UU khusus yang diatur di luar RUU KUHP.

Penanganan perkara korupsi juga akan serupa dengan penanganan perkara pidana biasa. Kewenangan-kewenangan dan penanganan luar biasa sebagaimana yang kini dimiliki oleh KPK, tidak dapat lagi diterapkan.

"Artinya, yang menjadi dasar kewenangan penindakan tindak pidana korupsi dalam RUU KUHP akan diatur pula secara umum dalam RUU KUHAP," tambah Lalola.

Implikasi dari banyaknya delik khusus yang diatur dalam RUU KUHP, menjadikan proses hukum dan kewenangan lembaga-lembaga terkait yang diatur dalam RUU KUHAP juga mengikat bagi lembaga-lembaga independen yang kewenangannya kini diatur dalam Undang-Undang khusus seperti Badan Narkotika Nasional, Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan hingga KPK.

Dampak selanjutnya adalah KPK hanya memiliki fungsi pencegahan korupsi karena fungsi-fungsi penindakan yang dimiliki KPK seperti penyidikan dan penuntutan, akan "dikembalikan" ke Polri dan Kejaksaan. Delik Korupsi yang "hijrah" ke RUU KUHP tidak secara otomatis membuat KPK tetap berwenang menangani perkara korupsi.

"Penyidikan tindak pidana korupsi jadi dimonopoli Polri. Berbeda dengan Kejaksaan, kewenangan penyidikan Polri terhadap delik korupsi tidak terbatas pada UU Tipikor, sehingga Polri tetap dapat melakukan penyidikan terhadap delik korupsi meskipun delik tersebut diatur di luar UU Tipikor," tambah Lalola.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement