REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konflik lahan antara rakyat dengan pengusaha atau pemerintah daerah marak terjadi beberapa tahun terakhir. Laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 2014, sepanjang tahun 2014 sedikitnya telah terjadi 472 konflik agraria di seluruh Indonesia dengan luasan konflik mencapai 2.860.977 hektar. Konflik-konflik itu melibatkan sedikitnya 105.887 kepala keluarga.
Bencana asap menjadi bagian dari konflik dan bencana lingkungan hidup yang berkelanjutan. Banyak komunitas masyarakat adat yang menunggu kehadiran negara dalam penyelesaian masalah. Di kalimantan ada perusahaan sawit yang merampas tanah transmigrasi. Masyarakatnya dipenjara ketika menuntut hak mereka.
Carlo Nainggolan menyampaikan dari total 13,4 juta hektar lahan perkebunan terjadi 730 konflik dan belum dituntaskan hingga kini. Contoh kasus terjadi di kalimantan, lahan transmigrasi dicaplok menjadi lahan perkebunan, kasus yang sama terjadi pula di Jambi. Sebuah perusahaan perkebunan mengelola lahan perkebunan tanpa izin.
"Menjadi tugas dan tanggung jawab negara untuk menyelesaikan masalah masyarakat ini," ujar Carlo dari Sawit Watch.
Sementara itu salah satu permasalahan konflik lahan di desa. Banyak dana yang akan disalurkan ke desa akhirnya banyak dikembalikan ke pemerintah pusat karena pemerintah lokal tidak bisa menjelaskan posisi tanah desa.
Masalah di daerah tertinggal karena infrastruktur, pembangunannya terhalang karena permasalahan lahan. Menurut Gunalan, Direktur Pembangunan Sarana Prasarana Ditjen PPMD Kementerian PDT mengatakan pengembangan pembangunan desa terkendala beberapa konflik lahan, pasalnya sebanyak 74.094 desa masih banyak yang belum memiliki status kepemilikan.
"Rencananya akan ada tim terpadu untuk menyelesaikan masalah lahan ini, termasuk melibatkan Kementerian Agraria," ujarnya. Berbicara masalah kasus, pengaduan ke Komnas HAM terkait konflik lahan rata-rata 5.000 kasus per tahun. "Korban konflik lahan rata-rata masif,” jelasnya.