Selasa 25 Aug 2015 18:29 WIB

KPK: Kepala Daerah yang Berniat Jahat, Langsung Disadap

Plt Ketua KPK Taufiqurachman Ruki memberikan keterangan dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (23/6).
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Plt Ketua KPK Taufiqurachman Ruki memberikan keterangan dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (23/6).

REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Plt Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Taufiequrachman Ruki meminta kepala daerah yang memiliki niat baik untuk menyukseskan pembangunan, tidak perlu takut dikriminalisasi. Terutama dikriminalisasi dalam penggunaan anggaran karena pihaknya bisa mendeteksi mana kepala daerah yang sudah punya niat buruk melakukan penyimpangan.

"Kebijakan yang dikriminalisasi adalah apabila sudah ada niat buruk. Begitu itu terdeteksi, kami akan sadap (kepala daerah) karena sudah dibilang jangan menyimpang. Jadi jangan takut," katanya di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau, Selasa (25/8).

Dalam acara yang turut dihadiri oleh Kapolri Jenderal Badrodin Haiti dan Jaksa Agung M. Prasetyo itu. Ruki menyadari bahwa gebrakan dari aparat penegak hukum telah menimbulkan keraguan dan ketakutan kepala daerah melaksanakan anggaran pembangunan dan belanja daerah. Akibatnya, sekitar Rp270 triliun dana APBD masih mengendap di bank pembangunan daerah hingga semester I-2015.

"Alasannya adalah takut dikriminalisasi kebijakannya, padahal?berbicara penggunaan anggaran tak ada lagi kebijakan karena anggaran dari pemerintah pusat sudah ditransfer ke rekening, sudah ada APBD, belanja modal atau kegiatan dalam perencanannya sudah jelas. Uangnya sudah ada dan tinggal lakukan, lalu kenapa mesti takut dani ragu," jelasnya.

Ia mengatakan, gebrakan aparat penegak hukum dalam penanganan kasus korupsi adalah untuk mengawal proses pembangunan berjalan sesuai aturan yang berlaku dan tidak menimbulkan kerugian negara.

"Jadi bukan untuk menyakiti," ucapnya.

Ruki mengatakan, kepala daerah juga tidak perlu takut melakukan diskresi atau mengambil keputusan sendiri pada situasi tertentu yang dihadapi, karena diskresi tidak serta merta bisa dikriminalisasi.

"Misalkan ada jembatan runtuh atau kebakaran, apakah tidak ada diskresi. Kalau begitu, maka harus menunggu revisi anggaran baru terbangun lagi dan kapan masyarakat bisa menikmati pembangunan yang optimal. Jadi kebijakan yang dikriminalkan itu apabila sudah ada niat, dan KPK bisa mengetahuinya," tegasnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement