Sabtu 22 Aug 2015 00:31 WIB
Rusuh Kampung Pulo

Mereka yang tak Rela Dipindah

Rep: C34/ Red: Ilham
Warga menangis histeris melihat rumah tinggalnya dirobohkan oleh alat berat di permukiman padat di bantaran sungai Ciliwung di Kampung Pulo, Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta, Jumat (21/8).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Warga menangis histeris melihat rumah tinggalnya dirobohkan oleh alat berat di permukiman padat di bantaran sungai Ciliwung di Kampung Pulo, Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta, Jumat (21/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nuraini sempat menangis. Ibu 30 tahun itu tak kuasa membendung duka kala menyaksikan rumahnya diratakan dengan tanah pada Kamis (20/8).

"Sedih banget, ngenes rasanya," kata Nuraini kepada Republika, Jumat (21/8).

Sudah delapan tahun ia bersama suaminya Ishaq bermukim di RT 07 RW 03 Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur. Kedua anaknya, Muhammad Fajri dan Zakiyah, bahkan lahir di sana.

Meski bukan pribumi, Nur, panggilannya, mengaku memiliki keterikatan batin dengan kampung tersebut. Apalagi, sejumlah keluarga tinggal tak jauh dari rumahnya.

Ia enggan pindah ke rumah susun yang telah disediakan pemerintah. Meski telah mengantongi kunci rusun di lantai 16, Nur masih menyimpan barang-barangnya di rumah tetangganya di Kampung Pulo.

"Hari ini barangnya baru dipindah-pindahin, tapi saya belum lihat rusun seperti apa. Sementara tidurnya numpang di tetangga," tutur ibu berjilbab itu.

Sehari pascapenggusuran, ia masih termangu dekat puing rumahnya. Ia menontoni aktivitas alat berat meratakan puluhan rumah lain.

Nur menyayangkan janji kosong Satpol PP yang menyatakan akan membantu proses pemindahan barang. Nyatanya, suaminya memindahkan sejumlah barang seorang diri, dengan menyewa gerobak. "Kagak ada dibantuin, mereka cuma ngelihatin sama ngerusakin doang," tutur perempuan asal Sukabumi itu emosi.

Ia menganggap penggusuran tersebut tidak adil, karena tak ada kompensasi ganti rugi bagi KK yang terkena gusuran. Selain itu, ia menganggap kondisi sosial tempatnya bermukim di Kampung Pulo sangat sesuai bagi ia dan anak-anaknya.

Nur mencoba melihat sisi terang karena tak akan lagi terdampak banjir. Selama ini, ia kesusahan karena banjir langganan merendam seluruh barang berharganya. Namun tetap saja ia tak rela meninggalkan bantaran Ciliwung itu.

Sekali waktu, ia mengungsi pukul dua malam dan merasa ngeri karena air sudah terlampau meninggi. Namun, tetap saja ia tak rela dipindah. "Sebenarnya nggak rela, tapi bagaimana lagi orang kecil nggak bisa melawan," katanya. (klik panah untuk membaca selanjutnya).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement